napak tilas

napak tilas
by Syukri Wahid

Rabu, 08 April 2015

Sikap ambigu politik (dalam dekapan demokrasi)



Dalam dekapan Demokrasi
Sikap ambigu politik

          Pembahasan sebelumnya adalah tentang cara kita memahami persoalan idealitas Islam sebagai sistem nilai yang sempurna dan bagaimana cara kita bersikap ketika nilai-nilai tersebut diterjemahkan dalam kehidupan. Sistem politik dalam kehidupan ini adalah sistem yang dinamis dan senantiasa terjadi perubahan , namun karena  sifatnya yang tidak kaku membuat Islam selalu bisa mengendalikan perubahan zaman. Sebab tujuan & prinsip politik  syariat itu yang diabadikan Allah swt, sedangkan sarana dan alat adalah instrumen yang fleksibel
Salah satu persoalan yang akan timbul pada problematika diatas  adalah lahirnya sifat bias atau ambigu dalam menyikapi ijtihad politik Islam. Kita ambil  contoh apa yang melatarbelakangi ijtihad Muawiyah bin Abu Sufyan ra menetapkan putranya sebagai putra mahkota untuk melanjutkan estafet Khaifah berikutnya, bahkan ijtihad ini menyeret para sahabat untuk bersikap pro dan kontra. Putra Abu bakar ra mengatakan “ Sungguh ini bukanlah sunnah pendahulu kita, namun ini sunnah Kaisar Romawi !”, sedangkan Abdullah ibnu Umar ra justru setuju menerima dan  membaiat  putra Muawiyyah ra sebagai pewaris tahta, kendati semua ada jawabannya, tapi itulah fakta yang terjadi dalam sejarah politik Islam.
Sifat ambigu ini akan menyeret kita pada logika kerja dakwah yang tidak produktif, karena kita selalu menghukum apa yang sedang terjadi dengan “gambaran ilustrasi” sistem politik yang ideal dalam cita-cita politik kita. Ini bukan tentang politik yang ideal, namun tentang politik apa yang tepat dibutuhkan saat itu ”. Adakah yang berani mengatakan itu salah dan menyelisihi sunnah ?. Jika itu bentuk pratek yang tidak benar, tapi janji Rasulullah saw bahwa sebaik-baik panglima dan pasukan perang adalah yang menaklukkan Konstantinopel, dalam bentuk pemerintahan politik seperti apa kala itu ?, Muhammad al fatih murad adalah produk pemerintahan kerajaan,beliaulah sang penakluk itu.
Atau kondisi saat ini sebagai contoh ketika Erdogan membantu rakyat Gaza dengan berbagai caranya, lantas kita menghukumi bahwa ijtihad politiknya tidak benar ?, karena negaranya sendiri sekuler, negaranya mengadopsi sistem tagut dan lain sebagainya. Tapi pada saat Arab Saudi terlepas dari kepentingan yang melatarbelakangi menyerang rezim baru Syiah Houthi di Yaman, beresihlah dulu urusan internalmu wahai Saudi karena musuhmu  bukan itu, atau coba kalian deklarasikan sebagai khilafah !, kemudian kita katakan kenapa tidak menyerang Israel dan membantu Gaza,  jadi akan selalu ambigu kita dalam menyikapinya, sehingga terjebaklah kita dalam perdebatan wacana-wacana.
Saat Sultan Brunei mengumumkan pemberlakuan hukum Islam di negaranya khususnya penegakkan hukum hudud, kemudian kita sontak sorai mengatakan itulah negara yang “Islami” , kemudian kita lupa kendati pemerintahan mereka bukan khilafah, tapi sekedar negara Bangsa saja tapi toh bisa menegakkan hukum itu.  
Itulah sebabnya para pemikir-pemikir muslim saat mereka membahas tentang siyasah dalam Islam, mereka selalu menghadirkan variabel-variabel dinamis dalam kehidupan ini, karena mereka tak ingin terjebak dalam bentuk-bentuk politik , tapi mereka justru fokus pada fungsi-fungsi politik karena itulah yang membuat mereka lebih mengetahui apa yang dibutuhkan dijamannya. Mereka sadar kekuasaan itu penting, tapi mereka menganggap lebih penting lagiadalah menjawab pertanyaan untuk apa kekuasaan itu ?.


Makhluk Politik & Diskon Syariah (dalam dekapan demokrasi)



                                                        
Dalam dekapan Demokrasi
Makhluk Politik & diskon Syariah

                   Setidaknya apa yang dibutuhkan oleh umat Islam kini sebagai subyek pewaris peradaban , kemudian  kembali mewarisinya dan pada akhirnya melanjutkan karya besar peradaban dunia dulu dan yang akan datang  adalah melengkapi seluruh kualifikasi syarat-syaratnya baik pada skala sebagai pribadi muslim , maupun juga sebagai entitas sebuah  pergerakan. Menang dan memimpin peradaban ini memang adalah janji Allah swt kepada mereka yang beriman dan beramal sholeh, namun bagaimana cara  meraih kemenangan tersebut adalah wilayah kita sebagai manusia, sehingga itu semua bermuara pada bertemunya ruang usaha kita dengan takdir.
 Dalam al Quran kita dikatakan sebagai makhluk politik disebabkan sebuah  alasan Allah swt hadirkan kita diatas bumi ini adalah sebagai " wakil-Nya " atau sebagai  khalifah-Nya  untuk mengatur dan memakmurkan bumi ini. Kita terlahir dengan titipan misi langit nan agung yang harus kita semaikan diatas muka bumi ini agar tumbuh pohon kehidupan, agar siapapun ummat manusia akan merasakan indahnya kehidupan ini dengan menjalankan kehendak-kehendak Allah swt.
           Adakah makna tertinggi lagi  dari fungsi politik yang diwakilkan dengan kata Khalifah ?, itulah kata yang merangkum semua derivat kata politik dan fungsinya diatas muka bumi ini. Jadi memisahkan Islam dari kegiatan politik adalah hanyalah kesia-siaan, seperti sulitnya memisahkan rasa dingin dari zat saljunya dan memisahkan rasa panas dari mataharinya. Islam secara tegas menyuruh ummatnya memiliki salah satu kualifikasi manusia peradaban adalah sebagai manusia politik, yaitu politik yang berketuhanan atau dalam istilah yang sudah kita bahas as siyasah asy syar'iyah.
           Allah swt adalah Maha sempurna dan agama ini adalah nilai kesempurnaan sebagai panduan dari langit untuk hidup di bumi, namun disitulah letak masalahnya adalah kita bukan makhluk yang sempurna, kita bukanlah perangkat yang selalu stabil dengan tujuan dan agenda itu sendiri. " Wakhuliqol insaanu dhoiifaa.." , demikian bahasa alquran tentang kita bahwa Allah swt telah menciptakan kita dalam keadaan penuh kelemahan. Tapi kita tidak kuatir dengan masalah itu, karena Allah swt sendirilah yang sudah membuat jalan keluanya dengan firman-Nya dalam surat at taghaabun ayat 16, " Fattaqullaha mastatho'tum..." , maka bertakwalah kalian sesuai dengan kesanggupan kalian.
            Bagi pejuang politik Islam ini menjadi penting karena kita akan mengkondisikan ummat agar apa yang diinginkan Allah swt itupula yang menjadi keinginan manusia, hukum yang Allah swt perintahkan juga menjadi hukum yang diterapkan manusia, namun disitulah ruang yang penting untuk kita pahami, karena prakteknya dalam kehidupan ini tidak seideal itu. Saat agama ini berisikan daftar perintah dan larangan dari Allah swt dan ketika turun ke bumi mengalami dua aspek  "diskon" dalam aplikasinya, yang pertama adalah saat Islam berhadapan dengan realitas atau kenyataan lapangan (waqi' ) dan yang kedua saat berhadapan dengan kelemahan manusia itu sendiri.
            Saat berbenturan dengan kondisi realitas , sebagai syariat yang memiliki sifat kelenturan dan keluwesan,  Islam menghadapinya dengan baik, itulah sebabnya ulama kita membekali salah satu ilmu alat dengan nama fikih waqi' atau fikih realitas karena disitu akan berhadapan bagaimana secara teknis  islam membumikan syariatnya agar bisa dijalankan . Aspek diskon yang kedua adalah saat kumpulan nilai-nilai Islam yang ideal itu tak pernah mengenal reduksi, masalahnya adalah kadar kita dalam menjalankannya yang selalu mengalami reduksi karena memang sifat asal kita, itulah sebabnya kita diminta bertakwa sesuai dengan kadar kesanggupan kita paling maksimal, sebab tiada yang bisa "sempurna" dalam ketakwaan.
           Jadi Islam yang kita amalkan sejak Rasulullah saw wafat yang sepanjang sejarah penuh dengan fluktuasi peradabannya bukanlah yang sempurna , namun itulah netto kita dalam beragama ini setelah mengalami dua diskon dalam lapangan kenyataan dan dalam  diri kita ,  karena itulah jika para pejuang hanya menulis agenda perjuangannya  yang  ideal-ideal saja dan bahkan sangat rigit dan teknis , maka dia bisa terjerumus pada gerakan yang akan menyalahkan semuanya, baginya semua tidak ada yang ideal dalam kacamatanya.
           Saat bersamaan kita sangat paham bahwa adakah benar-benar gerakan Islam yang ideal dan bahkan sudah membumikan yang ideal itu ?. Sehingga tak satupun gambaran kesuksesan perjuangan Islam di pentas muka bumi ini untuk diapresiasi, karena yang ada dalam benak kita adalah kumpulan-kumpulan nilai idealisme yang rigit dan teknis sebelum mengalami "diskon".
         Itulah yang dikatakan oleh ibnu Aqil bahwa jikalau yang anda maksudkan dengan syariat Islam itu adalah harus sesuai dengan apa yang pernah di contohkan oleh Rasulullah saw adalah salah, namun jika yang anda maksudkan adalah tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dan ajaran Rasulullah saw maka itulah yang menurutku benar.