Dalam
dekapan Demokrasi
Pembahasan sebelumnya adalah tentang
cara kita memahami persoalan idealitas Islam sebagai sistem nilai yang sempurna
dan bagaimana cara kita bersikap ketika nilai-nilai tersebut diterjemahkan
dalam kehidupan. Sistem politik dalam kehidupan ini adalah sistem yang dinamis
dan senantiasa terjadi perubahan , namun karena sifatnya yang tidak kaku membuat Islam selalu
bisa mengendalikan perubahan zaman. Sebab tujuan & prinsip politik syariat itu yang diabadikan Allah swt,
sedangkan sarana dan alat adalah instrumen yang fleksibel
Salah
satu persoalan yang akan timbul pada problematika diatas adalah lahirnya sifat bias atau ambigu dalam
menyikapi ijtihad politik Islam. Kita ambil contoh apa yang melatarbelakangi ijtihad
Muawiyah bin Abu Sufyan ra menetapkan putranya sebagai putra mahkota untuk
melanjutkan estafet Khaifah berikutnya, bahkan ijtihad ini menyeret para
sahabat untuk bersikap pro dan kontra. Putra Abu bakar ra mengatakan “ Sungguh ini bukanlah sunnah pendahulu
kita, namun ini sunnah Kaisar Romawi !”, sedangkan Abdullah ibnu Umar ra
justru setuju menerima dan membaiat putra Muawiyyah ra sebagai pewaris tahta, kendati
semua ada jawabannya, tapi itulah fakta yang terjadi dalam sejarah politik
Islam.
Sifat
ambigu ini akan menyeret kita pada logika kerja dakwah yang tidak produktif, karena
kita selalu menghukum apa yang sedang terjadi dengan “gambaran ilustrasi”
sistem politik yang ideal dalam cita-cita politik kita. Ini bukan tentang
politik yang ideal, namun tentang politik apa yang tepat dibutuhkan saat itu ”.
Adakah yang berani mengatakan itu salah dan menyelisihi sunnah ?. Jika itu
bentuk pratek yang tidak benar, tapi janji Rasulullah saw bahwa sebaik-baik
panglima dan pasukan perang adalah yang menaklukkan Konstantinopel, dalam
bentuk pemerintahan politik seperti apa kala itu ?, Muhammad al fatih murad
adalah produk pemerintahan kerajaan,beliaulah sang penakluk itu.
Atau
kondisi saat ini sebagai contoh ketika Erdogan membantu rakyat Gaza dengan
berbagai caranya, lantas kita menghukumi bahwa ijtihad politiknya tidak benar ?,
karena negaranya sendiri sekuler, negaranya mengadopsi sistem tagut dan lain
sebagainya. Tapi pada saat Arab Saudi terlepas dari kepentingan yang
melatarbelakangi menyerang rezim baru Syiah Houthi di Yaman, beresihlah dulu
urusan internalmu wahai Saudi karena musuhmu
bukan itu, atau coba kalian deklarasikan sebagai khilafah !, kemudian
kita katakan kenapa tidak menyerang Israel dan membantu Gaza, jadi akan selalu ambigu kita dalam
menyikapinya, sehingga terjebaklah kita dalam perdebatan wacana-wacana.
Saat
Sultan Brunei mengumumkan pemberlakuan hukum Islam di negaranya khususnya
penegakkan hukum hudud, kemudian kita sontak sorai mengatakan itulah negara
yang “Islami” , kemudian kita lupa kendati pemerintahan mereka bukan khilafah,
tapi sekedar negara Bangsa saja tapi toh bisa menegakkan hukum itu.
Itulah
sebabnya para pemikir-pemikir muslim saat mereka membahas tentang siyasah dalam
Islam, mereka selalu menghadirkan variabel-variabel dinamis dalam kehidupan
ini, karena mereka tak ingin terjebak dalam bentuk-bentuk politik , tapi mereka
justru fokus pada fungsi-fungsi politik karena itulah yang membuat mereka lebih
mengetahui apa yang dibutuhkan dijamannya. Mereka sadar kekuasaan itu penting,
tapi mereka menganggap lebih penting lagiadalah menjawab pertanyaan untuk apa
kekuasaan itu ?.