napak tilas

napak tilas
by Syukri Wahid

Rabu, 08 Juli 2009

Menatap masa depan da'wah pasca Pilpres 2009


Dari sini kita memandang,,, dari da’wah
Alhamdulillah, tanpa bermaksud mendahului ketetapan Allah SWT, sepertinya aura kemenangan pasangan SBY-Budiono sudah tercium, setidaknya itu yang bisa kita lihat dari hasil perhitungan cepat disemua stasiun TV, semuanya diatas 50%, itu semua adalah Ni’mat dari Allah SWT kepada kita, dan keinginan untuk menyudahi pilpres ini dengan satu putaran akan terwujid Insya Allah. Ikhwah fillah akhirnya kita mampu menyelesaikan sebuah tahapan yang sulit dan krusial dalam kehidupan kita berpolitik secara khusus dan kehidupan berjama’ah didalam da’wah secara umum melalui musyarakah siyasiyah pada PILPRES 2009 ini. Kita selalu memandangnya seperti itu, bukan semata-mata sebagai hubungan saling membutuhkan antara politik dan da’wah, namun diatas segalanya kita lebih memandang bahwa “as siyasah juz’um minadda’wah”, politik adalah cabang dari da’wah , bahkan sebagian masyaikh da’wah kita mengatakannya dengan istilah , “as siyasah khadiimatud da’wah” atau politik itu adalah sebagai “pembantunya da’wah”. Itulah filosofi yang menyebabkan partai ini hadir dengan literatur baru sebagai partai da’wah, bukan semata-mata sebagai partai politik dalam arti an sich, sehingga ikhwatifillah semua sepak terjang kebijakan parta ini, membuat kita selalu harus memandangnya dari kaca mata da’wah yang bersifat integral dan sempurna, menyeluruh dengan kaidah-kaidah islam yang luas dan luwes dan ada ruang dalam nilainya yang bersifat ats tsaabit dan mutaghayyiraat atau (kokoh dan bisa berubah), bukanlah darikaca mata politik yang terlalu spesifik dan khusus yang hanya diukur dari kacamata kepentingan jangka pendek dan bersifat teknis.

Politik dan kepentingan
Memang politik itu diantara perilakunya adalah kepentingan, apatahlagi dalam praktek musyarakah siyasiyah atau koalisi politik, dimana unsur perekatnya adalah “kepentingan”, maka kitapun masuk dan ikut terlibat didalamnya dengan membawa paket “agenda kepentingan”, namun yang kita bawa dan perjuangkan adalah kepentingan da’wah kita bukan kepentingan pribadi atau elit, sebagaimana itu yang umum dilakukan oleh yang lain, memang tipis batas antara keduanya. Namun agar bisa membedakannya, maka partai kita membuat sebuah alat kontrol internal, apakah keputusan yang keluar itu adalah kepentingan pribadi atau da’wah, yaitu lewat sebuah alat yang bernama musyawarah atau syura, itulah alat yang bisa mejamin dan menjaga orisinalitas kepentingan da’wah kita. Dan sudah barang tentu mereka yang ada didalamnya adalah orang-orang yang memiliki kapasitas mumpuni, karena mereka juga sadar bahwa “pikiran dan suara” yang keluar dalam forum itu adalah perwakilian semua kader. Mereka yang duduk dalam forum itu, lebih tepat jika kita menyebutnya sebagai “ahlu halli wal ‘aqdi” dalam terminologi politik Islam, dari istilahnya saja sudah memberikan arti adalah mereka yang diserahkan untuk melonggarkan dan mengikat suatu urusan , itu makna bahasanya.
Merekalah yang merumuskan kepentingan da’wah kita untuk dititipkan melalui perjuangan politik. Jadi politik itu semacam pintu masuk bagi da’wah untuk nanti dimana dia bisa masuk kedalam rumah besar kekuasaan dan bisa berbuat banyak disitu untuk menjalankan agendanya membenahi ummat ini. Jadi jangan terlalu takut dengan istilah “kepentingan politil”, substansinya bukan disitu, namun lebih subtantif untuk menyoal adalah “apa kepentingan da’wah kita sekarang”. Sama sajalah dengan istilah kekuasaan, kekuasaan itu benda netral, yang paling penting adalah untuk apa kekuasaan itu, bukan berarti kita mengejar kekuasaan an sich, namun kita justru sudah memiliki jawaban yang lebih jauh yaitu, untuk apa kekuasaan itu? Kalau kekuasaan jatuh ke tangan orang buruk, kira-kira untuk apa kekuasaannya itu, tergantung apa kepentingannya terhadap kekuasaannya itu, kira-kira seperti itulah sederhananya.

Investasi itu bernama waktu
Pepatah Arab mengatakan al waqtu juz’un minal ‘ilaaj atau waktu adalah bagian dari proses perbaikan. Kita selalu sadar bahwa semua agenda da’wah kita berjalan diatas waktu. Sejak memutuskan diri masuk kedalam pintu politik tahun 1998, maka sejak itu kita memiliki “umur politik” dan kita sangat paham betul ma’na umur itu bagi kita, sehingga sebelum mendirikan partai, kita justru menguatkan keyakinan kita, “apa alasan kita untuk hidup sebagai sebuah partai?”, ini makna umur yang paling dalam, semua umur punya ajalnya, jadi kekuatan misi kita dan karya dari kesadaran itulah yang akan memperpanjang umur politik kita, jika itu semuanya tidak ada, visi,misi dan sebagainya tidak ada,,maka inilah mulai saatnya kita menghitung umur politik kita.
Sudah tiga pemilu legislatif dan dua pemilihan presiden kita lewati dalam rentang umur kita yang baru 11 tahun. Tanpa bermaksud memuji diri sendiri, saya kira hampir semua pengamat mengatakan kita adalah sebuah fenomena baru dalam kehidupan berpolitik di Tanah air, dengan usia belia dan kini menginjak masa remaja sudah cukup meberikan saham politik di Indonesia ini. Performa politik kita dari tiga musim pemilu memberikan tren naik, kendati dipemilu april lalu naik sangat kecil, namun perolehan kursi da’wah meningkat di DPR-RI. Kita masih memiliki peluang waktu yang lebih panjang Insya Allah, anggaplah sejak masa reformasi dan sekaligus memasuki masa transisinya sampai sekarang, mudah-mudahan di tahun 2014 Bangsa ini sudah menumkan formula yang tepat baginya untuk berdemokrasi. Dimasa transisi itulah kita banyak seali belajar, belajar apa saja dengan cepat, pembiakan tokoh-tokoh da’wah sudah kita lakukan dimasa tersebut. Ustad Anis Matta mengatakan di rentang waktu tahun 1998 sampai dengan sekarang setidaknya kita menyaksikan banyak musim gugur para tokoh politik dan partai politik, karena memang mereka mengalah dengan tantangan zamannya dan yang pasti ditengah musim gugur tersebut ada sekelompok generasi baru sedang tekun belajar kuat untuk menyiapkan dirinya nanti kelak, sehingga pada akhirnya kita bisa melampaui masalah kita, keluar dari rasa tidak percaya diri, dan biarlah nanti Indonesia mengatakan , “sepertinya memang andalah yang kami tunggu selama ini”.

Kemenangan ini untuk da’wah masa depan
Pilpres tahun 2009 ini menjadi hal yang strategis dimata da’wah kita sekarang, secara historis sebenarnya SBY dengan kita sudah lama bekerja sama, setidaknya dari putaran kedua ketika pilpres tahun 2004. Kita pun sadar setelah angka 8% yang kita peroleh dari legislatif kemarin, menjadi sinyal bagi posisi da’wah kita dalam politik tanah air. Mungkin jika kita berguman dalam hati, seperti inilah ungkapan menggambarkan psikis angka itu, “Kita ini baik namun belum banyak pengikut, kita mungkin sholeh namun kesholehan kita belum bisa menggoda orang untuk menjatuhkan pilihannya kepada kita, seperti ungkapan Arab, “ thayyib walakin miskiin “,atau juga ungkapan seperti ini,” kalau sholeh okelah, tapi kalau ngurusin Negara nanti dululah”, atau kita hanya diposisikan sebagai pembaca doa dalam sebuah kepanitiaan besar, belum saatnyalah menjadi pembicara utama”.
Ketika da’wah Nabi Muhammad SAW telah memasuki tahun ke-10 kenabian, berapa pengkiut beliau, berapa masyarakat kota Arab yang bergabung? Apakah mereka tidak kenal dengan pribadi Muhammad SAW, lupakah mereka dengan jasa beliau ketika konflik hajar aswad membuat nyaris perang suku-suku di Arab dan beliaulah yang memberikan solusinya dan menghindarkan mereka dari konflik berdarah tersebut. Pelajaran sirah memberikan kita satu pesan mendasar, bahwa memang beliau telah mendapat “misdaqiyyah ijtima’iyyah” atau pengakuan publik bahwa beliau adalah orang yang jujur,adil dan lurus . Tapi apakah beliau bisa mendapatkan payung politik bernama Negara di Makkah? Justru beliau bernegara ketika di Madinah. Ternyata kita membutuhkan modal tambahan lain diluar modal nilai tersebut, yaitu kekuatan.
Setelah itu rasulullah SAW “diprogramkan” oleh Allah SWT dengan Isra’ mi’raj ditahun sepuluh kenabiannya, karena ada gejala dari Nabi ketika gagal di Thaif beliau menangis, karena kondisi da’wah yang stagnan dan tidak memberikan hasil yang memuaskan, dan itu direkam Allah SWT dalam surat al kahfi ayat ke 6 :
6. Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, Sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran).

Demikian suasana jiwa Rasulullah SAW, merasa sedih dan tidak berdaya karena program da’wah yang dilaksanakan selama ini tidak berujung kepada dukungan masyarakat kepada nilai kebenaran. Jadi Isra’ mi’raj adalah terapi fisik dan mental atas diri Nabi agar jangan terjadi disorientasi dalam nilai dan semangat perjuangan, karenanya Alah memperlihatkan Syurga dan neraka, supaya beliau menjadi yakin terhadap perjuangan selama ini. Beberapa Mufassirin ketika mentafsirkan kalimat ,” Subahalladzii asroo bi ‘abdihii…..” , adalah kemauan Allah agar jangan “berdiam diri dengan realitas yang ada saat itu”, karena itu kalimatnya , “Maha suci Allah yang telah menjalankan…”, jadi harus bergerak, jalan, terus jangan meratapi kondisi saat itu, da’wah harus bergerak.
Mungkin kita dan termasuk saya, sedikit terpana memandang perolehan suara kita di legislatif kemarin, ada ikhwah yang terdiam dan kecewa. Setelah itu kita langsung Ria’yah tarbawiyyah,para asaatidz kita turun ke lapangan untuk memberikan taujih penyegaran, yah anggaplah proses “isra mi’raj” dalam versi kita. Dimana disana dibangun kembali nilai-nilai dasar perjuangan kita, hubungan dengan Allah SWT diperbaiki dengan memperbanyak amal yaumiyan dsb. Ikhwatifillah, apa yang terjadi setelah isra’ mi’rajnya Rasulullah SAW, adalah gelora iman dan semangat beliau kembali muncul, menatap masa depan yang lebih baik, gelora iman membakar semangat, da’wah beliau menjadi kencang, walhasil tahun kesepulu sampai ke tigabelas kenabian, beliau mendapatkan cikal bakal kekuatan dimadinah dengan masuknya orang-orang yastrib dalam musim Haji tahun itu dan puncaknya adalah Hijrah, sebagai sebuah metamorphosis gerakan da’wah beliau menjadi gerakan Negara.
Saya berkumpul dengan beberapa ikhwah ditempat tabulasi suara di salah satu DPC, setiap sms dan telpon yang masuk, spontan kami bertakbir, karena suara pasangan SBY-Budiono menang, bahkan menang telak. Seyum dan wajah ceria begitu menghiasi para kader, beda ketika kami menatap hasil suara legislative kemarin (he..he…). Saya berfikir “kemenangan” ini adalah sinyal yang Allah berikan kepada kita Insya Allah, boleh jadi ini awal hijrah. Dan yang saya maksudkan disini adalah “hijrah performa politik da’wah” kita,, selangkah lagi kita bernegara bung,,,tahun 2014 adalah masanya. Anggap saja “kemenangan SBY” ini adalah payung da’wah kita, sebagimana Rasulullah SAW ketika pulang dari Thaif, tidak berani karena masyrakat Arab telah mengusirnya, antum tahun dengan apa beliau masuk. Yaitu dengan menggunakan “payung jiwar”, atau memakai perlindungan salah seorang petinggi Quraisy yang masih musyrik yaitu bernama Muth’im bin ‘Ady, yang memiliki pasukan dan dukungan sukunya saat itu, dan ketika Rasulullah SAW datang ke Makkah, Muth’im bin Ady berteriak di depan Ka’bah,” wahai Quraisy, sungguh Muhammad berada dalam jaminanku, maka barang siapa yang menyentuhnya maka dia berarti menyentuhku, memerangi dirinya berarti memerangi diriku.
Tanpa bermaksud mendramatisir penggalan sejarah diatas, ketika Golkar dan PDIP ingin bergabung dengan SBY saat itu, mereka katakan, kami mau bergabung asal PKS dikeluarkan dari koalisi, namun SBY mengatakan, “ PKS bagi saya adalh tulang punggunya”, kita 8 % namun seharga dengan 30 % (PDIPdan GOLKAR), untuk sementara pemerintahan SBY adalah “payung” untuk melindungi da’wah kita. Setidaknya tirani Golkar dan PDIP berakhir disini, Insya Allah.Allahu Akbar,,sabar ikhawtifillah sebentar lagi kita hijrah,,sebentar lagi kita menuju “Negara”.

Balikpapan,gang Depag
17 Rajab 1430 H/8 Juli 2009

Kini tidak gelisah,,akhirnya kau tersenyum