napak tilas

napak tilas
by Syukri Wahid

Rabu, 08 Oktober 2008

Puasa & penaklukkan Makkah (Fathuh Makkah)


“Puasa & sejarah Fathuh Makkah”
Oleh: Syukri Wahid,drg



Dari semua serial pembahasan siroh nabawiyyah, boleh jadi sejarah “fathuh Makkah” atau penaklukkan kota Makkah adalah pembahasan yang paling menarik sekaligus dramatis, mengapa demikian para pembaca sekalian?. Setidaknya ada beberapa alasan yang bisa kita kemukakan disini, yang pertama adalah bahwa dari sekian banyak janji Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah berupa kemenangan dalam perjuangan da’wahnya, bahwa kelak Islam yang dibawa oleh beliau akan mewarnai bumi ini dan kemudian akan memimpin peradabannya.
Salah satu janji Allah SWT tersebut adalah berupa “fathan mubiina” atau kemenangan yang nyata, kabar kemenangan ini terdapat pada ayat pertama surat al fath, Allah SWT berfirman,” Inna faathna laka fathan mubiina” artinya “sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”, ayat ini turun pada tahun 6 Hijriah pada saat peristiwa terjadinya perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah SAW dengan pihak musyrikin Makkah, ketika rombongan Umrah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW terpaksa kandas di lembah Hudaibiyyah, karena pihak musyrikin Quraisy melarang kaum muslimin memasuki kota Makkah, walaupun tujuan Nabi bukanlah perang, tapi murni ingin menunaikann ibadah umrah, tujuan beribadah. Perjanjian Hudaibiyah adalah sebuah perjanjian yang meliputi gencatan senjata antara keduabelah pihak selama 10 tahun, semua suku di jazirah Arab dipersilahkan bergabung dengan pihak muslimin atau ke pihak musyrikin Quraisy , kaum muslimin tidak boleh masuk ke kota Makkah tahun itu dan hanya boleh masuk ke kota Makkah tahun depannya itupun dibatasi hanya 3 hari saja dan jika ada orang Makkah yang ke Madinah, walaupun dengan ijin walinya, maka dia harus dikembalikan ke Makkah, namun jika ada orang Madinah yang ke Makkah maka dia tidak boleh dikembalikan ke Madinah.
Mayoritas sahabat tidak bisa menerima keputusan yang diambil oleh Beliau, mengapa Nabi Muhammad SAW mau “duduk berdamai, mengalah dan menyetujui” perjanjian dengan musyrikin Makkah saat itu, para sahabat mengatakan ini adalah kekalahan, namun Nabi Muhammad SAW mengatakan justru ini adalah pintu kemenangan, terjadilah perbedaan cara pandang antara Nabi dan para sahabat, maka turunlah ayat diatas, yaitu surat al fath yang berarti “kemenangan”. Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kemenangan yang nyata itu adalah “kelak Makkah akan jatuh kepangkuanku”, apa yang terjadi pembaca sekalian bahwa ternyata dua tahun setelah turunnya ayat ini barulah Allah SWT membuktikannya kepada kaum muslimin, yah…penaklukan kota Makkah dan itu terjadi tepat pada bulan puasa dibulan Ramadhan tahun 8 Hijriah.
Alasan kedua adalah sebagaimana janji Allah SWT juga pada ayat yang lain, pada akhir ayat delapanbelas dan ayat sembilanbelas, bahwa Allah SWT berfirman,”…….., maka Allah mengetahui apa yang ada didalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”. Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil.Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “. Jika pada tahun perjanjian hudaibiyah tersebut pada akhirnya memaksa kaum muslimin harus rela kembali ke Madinah dan akhirnya membatalkan niat umrah mereka ke kota Makkah saat itu, maka itu bukanlah kekalahan, itu bukanlah akhir dari segalanya. Mungkin diantara para sahabat telah mendefinisikan kemenangan saat itu adalah jika kita bisa masuk ke kota Makkah dan melakukan ibadah umrah, dan mereka pun telah mendefinisikan kekalahan adalah jika kita tidak bisa masuk ke Makkah dan harus pulang ke Madinah, gara-gara orang Makkah tidak mengijinkan mereka masuk kedalam kota Makkah, titik seperti itu. Padahal menurut Allah SWT ini hanya persoalan “umrah yang tertunda” , kelak mereka akan umrah tanpa tekanan, kelak mereka akan umrah tanpa adanya intimidasi dari pihak musyrikin, jadi ini yang mungkin kita sebut “kemenangan yang tertunda”. Dan Allah menghibur kaum muslimin diayat tersebut dengan kata “fathan qoriiba” atau kemenangan yang sudah dekat waktunya, jadi ini masalah momentum saja.
Tanggal 10 Ramadhan tahun 8 Hijriah, ketika sedang berpuasa kaum muslimin meninggalkan Madinah menuju kota Makkah, dengan kekuatan 10 ribu pasukan, apa pasal yang menyebabkan kaum muslimin mengerahkan pasukan sebesar itu? Ternyata perjanjian hudaibiyah hanya berumur 19 bulan saja, pihak Quraisy melanggar perjanjian, dimana bani bakar sekutu dari Quraisy membunuh dan memerangi bani khuzaah yang merupakan sekutu Rasulullah SAW, karenanya Nabi SAW mengambil sikap tegas terhadap para pelanggar perjanjian, yaitu memerangi mereka.
Sekarang saya ingin mengajak anda semua menduga-duga seperti ini, kira-kira apa yang ada dalam benak sahabat yang ada dalam pasukan besar tersebut, tiga ribu diantaranya adalah mereka yang pernah “gagal umrah” pada perjanjian hudaibiyah. Kejadian hari itu dimaknai oleh sebagian dari mereka adalah ajang “balas dendam”, sebagaimana diungkapkan oleh sahabat Sa’ad bin ubadah, pembawa bendera kaum Anshar, “ hari ini adalah hari pembantaian, hari ini kesucian ka’bah dihalalkan. Hari ini Allah akan merendahkan kaum Quraisy”. Teriakan keras sahabat ini terdengar oleh Abu sufyan yang sedang melihat dari puncak bukit, dibenaknya Abu sufyan sudah menduga bahwa kaum muslim sudah “marah besar”, bahwa kaum muslimin akan memerangi mereka semuanya.
Apa reaksi Rasulullah SAW, ternyata ungkapan Sa’ad dijawab oleh Rasul dan bahkan diluruskan, beliau bersabda,” Bahkan hari ini adalah hari kasih sayang, hari ini, Ka’bah diagungkan. Hari ini dimana Allah memuliakan kaum Quraisy”. Dan setelah itu Nabi mencopot jabatan Sa’ad dan diganti oleh anaknya Qais bin Sa’ad. Sebuah pemandangan yang indah pembaca sekalian, bahwa disaat Nabi memiliki semua alasan untuk membalas dan memerangi kaum Quraisy, justru yang keluar adalah kelemahlembutan. Jadi inilah yang kita sebut dengan “orang kuat yang memaafkan”, kalau orang lemah memaafkan itu biasa. Puasa itu mampu melahirkan kekuatan jiwa seperti itu, mampu mengendalikan nafsu, jiwa-jiwa pemaaf itu lahir dari rahim Ramadhan. Ketika semua penduduk Makkah terduduk lemah didepan Ka.bah dihadapan Rasulullah SAW, mereka menyatakan menyerah dan kini mereka sedang menunggu-nunggu apa yang bakal mereka terima dari Sang pemimpin Nabiullah Muhammad SAW, memecah keheningan itu, Nabi mengajukan satu pertanyaan singkat,”yaa ma’syaral Quraisy!!!, maadza tarauna anni faa’ilun bikum???”, wahai orang Quraisy, apa yang akan saya lakukan kepada kalian sekarang?. Apa makna ucapan ini bagi Hindun yang pernah memakan hati paman Nabi, Hamzah diperang uhud? Mereka menjawab seraya merayu, engkau adalah saudara kami yang baik. “Pergilah kalian semua, kalian aku maafkan…” tiba-tiba Nabi mengatakan demikian. Mungkinkah kita sekarang lahir seperti jiwa-jiwa yang juga mengatakan hal yang sama diatas???,,,,tergantung puasa kita.

Selasa, 07 Oktober 2008

Saat-saat kritis dalam sejarah (3)

Saat-saat kritis dalam sejarah 3
(keputusan-keputusan Abu bakar ketika memerintah)
drg.Syukri Wahid

Jika kita ingin menjelaskan 3 tahun masa kekhilafaan Abu bakar, maka kita hanya mendapatkan bahwa masalah-masalah datang berganti dalam pemerintahan beliau adalah ingin menguji nyali dan sekaligus ijtihad beliau, mungkin 3 tahun yang beliau lalui tidak terlalu fokus kepada ekspansi da’wah yang lebih luas menjangkau daerah-daerah di bumi ini, namun 3 tahun itu adalah pondasi yang belaiu siapkan untuk kepemimpinan berikutnya, karenanya Umar bin khattab bisa mensejahterakan rakyatnya selama 13 tahun kepemimpinannya adalah buah dari pondasi yang dibangun Abu bakar. Tema pemerintahan Abu bakar adalah konsolidasi sedangkan tema pemerintahan umar adalah ekspansi dan distribusi.
Sekarang saya ingin menceritakan salah satu keputusan sulit yang diambil oleh Abu bakar yang berbeda dengan sebagian besar sahabat, termasuk umar bin khattab saat itu, apa masalahnya?. Saya ingin mengajak kita mengingat satu dari tiga wasiat Nabi Muhammad SAW, yaitu memberangkatkan pasukan kaum muslimin yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Sejatinya pasukan berjumalh 700an sahabat ini telah diberangkatkan oleh Nabi SAW sebelum jatuh sakit, dengan misi memerangi pasukan Romawi disekitar Syam, misi ini sekaligus ingin membalas gugurnya sahabat utama dalam perang mu’tah tahun 7 H, dimana syahidnya Zaid bin haritsah, Ja’far bin Abu thalib dan Abdullah bin rawahah, karenanya tidak mengherankan panglima perang dalam satuan ini adalah Usamah bin Zaid yang tidak lain adalah anak kandung dari sahabat Zaid bin haritsah.
Ketika pasukan ini telah sampai ke daerah dzi khayasf, terdengarlah kabar jatuh sakitnya Rasulullah SAW dan semakin parah sakit beliau, akhirnya pasukan ini memutuskan untuk kembali ke Madinah. Sampai akhirnya seluruh pasukan masih mendapat saat-saat menjelang wafatnya Rasulullah SAW dan kali itu seluruh musim berkabung atas meninggalnya manusia terbaik didunia ini.

Merealisasikan Amanat Rasulullah SAW
Hari-hari awal kepemimpinan Abu bakar dilewati penuh dengan dinamika internal, setelah menyelesaikan transisi kepemimpinan dari Nabi Muhammad SAW ke beliau, dan itupun sudah ada ”gejala” perbedaan yang masih dalam batas kewajaran yanag alamiah. Maka beliau akhirinya segera kembali mengkonsolidasikan pasukan yang pernah dikirim oleh Nabi tersebut, beliau memanggil Usamah bi Zaid dan segera memerintahkan untuk menyiapkan pasukannya. Bukan tanpa alasan beliaun melakukannya itu, apatah lagi itu adalah satu dari tiga pesan Rasulullah SAW sebelum wafatnya.
Beberapa sahabat memberikan masukan kepada Abu bakar berkenaan dengan kebijakannya tersebut, tersebutlah Umar bin khattab yang paling depan dalam masalah ini. Umar bin khattab mencoba memberikan pandangan lain tentang situasi negara ini, tentang bagaimana skala prioritas untuk mengatasinya. Umar bin khattab menyampaikan bahwa mengapa khalifah memutuskan untuk mengirim kembali pasukannya usamah, padahal di beberapa daerah yang dekat dengan pusat Islam telah menyatakan keluar dari Islam (murtad) dan sebagian juga ada yang enggan membayar zakat. Menurut Umar khalifah harus lebih mendahulukan masalah ini, bagaimana penanganannya. Jika murtad maka para sahabat tidak berselisih terhadapanya, karena sudah jelas bagaimana status hukum terhadap orang-orang yang murtad dari agama ini, namun tentang zakat mereka masih butuh keyakinan, tentang solusinya, apakah juga harus diperangi?, dan beliau berijtihad, ”saya akan memerangi siapa yang ,memisahkan shalat dan zakat, walaupun zakat itu hanya berupa seutas tali dari kuda”. Bagi Abu bakar murtaddin dan keengganan membayar zakat memang masalah yang harus segera juga diselesaikan, namun beliau lebih mendahulukan pengiriman pasukan usamah ke medan pertempuaran, beliau mengatakan kepada Umar, bahwa pasukan ini bukan saya yang bentuk, namun pendauluku (Rasulullah SAW) dan saya tidak akan melalaikan amanah beliau, maka tetap aku akan berangkatkan mereka. Umar bin khattab mungkin berpikir, bahwa jika pasukan ini berangkat, siapa yang akan memerangi para murtaddin tesebut.

Hikmah berangkatnya pasukan Usamah
Sebuah kenyataan sejarah yang ditulis oleh imam as syuyuti dalam bukunya ”tarikh khulafa”, bahwa ketika pasukannya Usamah bin zaid yang berjumlah 700 orang itu berangkat menuju Syam ternyata mampu menyelesaikan masalah yang kedua, setidaknya memberikan efek ”psi war” kepada kaum yang murtad tadi, apa pasal?. Ternyata pembaca sekalian, pasukan yang gagah berani tersebut dalam perjalanannya menuju Syam ternyata melewati beberapa kampung-kampung atau daerah yang dimana disanalah para kaum murtad dan yang enggan berzakat itu berada.
Mereka para murtaddin ini berkata, pasukan siapa itu dan hendak kemanana mereka?, dan mereka pulalah yang menjawab , bahwa itu adalah pasukannya Usamah bin Zaid yang menuju Syam untuk memerangi orang-orang Romawi. Para petinggi mereka mengatakan, ”jika khalifah Abu bakar mengirm pasukan ini untuk melawan Romawi (negara adidaya saat itu), maka sudah barang tentu dia masih punya pasukan yang cukup untuk melawan kita” Jika kaum muslimin sanggup melawan pasukan Romawi yang besar itu, maka bagaimana lagi dengan kita. Jadi jauh sebelum pasukan-pasukan Islam yang dibentuk sebanyak 12 satuan perang untuk menumpas mereka, maka kekalahan itu sudah ada dalam jiwa dan pikiran mereka, setidaknya nyali mereka sudah jatuh, ketika menyaksikan pasukannya usamah lewat didepan mereka, mungkin kalau bahas kita sekarang, seakan-akan usamah mengatakan, maaf yah,,,,kalian tidak selevel dengan kami.
Bagaimana dengan tanggapan dunia internasional saat itu, seperti Romawi, yah,,,mereka mengatakan bahwa ”kematian Muhammad tidaklah mematikan semangat juang para pengikutnya”, walhasil pembaca sekalian, pasukan Usamah ini hanya membutuhkan sekitar 15 hari untuk memenangkan pertempuran tersebut, dan tidak cukup sampai disini, bahwa itulah record baru bahwa pasukan ini bisa memenangkan melawan Romawi dan tak satupun yang gugur, mereka kembali utuh semuanya. Sudah barang tentu dalam perjalanan pulang ke Madinah, pasukan ini kembali melewati daerah yang murtad, saya mencoba menyerap makna pasukan yang melewati kaum murtad tersebut, dengan ungkapan yang bisa diterima oleh para kaum murtaddin, seakan-akan pasukan Islam mengatakan,”melihat kalian semua....siapa takut”.

Saat-Saat kritis dalam sejarah (2)

Saat-saat kritis dalam sejarah 2
(ujian pemerintahan Abu bakar ra)
drg.Syukri Wahid

Dari sekian banyak permasalahan pemerintahan yang melanda sebuah bangsa , tidak ada yang lebih sulit dari mengatasi masalah yang mengancam integrasi kedaulatan bangsa tersebut, sebab umur sebuah pemerintahan salah satunya diukur dari intergritas politik & kewilayahannya, desintegrasi mengancam kewibawaan sebuah pemerintahan. Semakin solid sebuah bangsa mempertahankan keutuhannya, maka semakin berwibawa dia dihadapan pergaulan dunia. Masalah inilah yang pernah dialami oleh khalifah Abu bakar sebagai khalifah pertama dalam mata rantai pemerintahan Rasulillah SAW, sebuah ujian tengah melanda kepemimpinan baru yang beliau pimpin, ancaman tersebut datang ingin menguji “nyali” khalifah Abu bakar sebagai seorang pemimpin.
Dalam setiap pergantian kepemimpinan biasanya akan terjadi kegoncangan dalam masyarakat, belum lepas ujian yang pertama menimpa khalifah abu bakar tentang , siapa yang berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW, maka kini ujian yang lebih sulit lagi yaitu, adanya gerakan dari beberapa daerah yang melakukan murtad (keluar dari Islam) dan keengganan kaum muslimin untuk membayar zakat. Murtad memberikan konsekuensi tentang lepasnya ikatan ideologis pada tubuh pemerintahan Abu bakar, dan ini adalah awal dari lepasnya simpul teritorial. Beliau menyadari betul akan konsekuansi dari masalah ini, apalagi konsekuensi masalah ini akan membangun image yang negative pemerintahan beliau dan jika belia tidak segera menyelesaikannya, maka akan mengundang intervensi negara lain pada waktu itu seperti Romawi dan Persia untuk menyerang jantung pemerintahan Islam saat itu, jadi instabilitas dalam negeri akan mengundang pihak luar untuk melakukan serangan.
Selain itu muncul dibeberapa tempat tokoh-tokoh yang menyatakan dirinya adalah Nabi, dan ini terjadi hamper disebelas tempat, nama yang terkenal adalah Musaillamah al kadzaab. Tokoh ini bisa menjadi magnet perlawanan didaerahnya masing-masing, padahal sebelumnya daerah tersebut adalah penduduk yang tealah menyatakan keislamannya dan komitmennya bersama da’wah Rasulullah SAW, maka wibawa pemerintahan harus ditegakkan terhadap semua upaya untuk melakukan tindakan makar yang mengancam integrasi wilayah sebuah Negara.

Komitmen dalam tekad
Setelah menganalisa dan menimbang masalah ini, maka beliau memanggil sahabat dekatnya yaitu Umar bin Khattab untuk sharing pendapat, pembaca sekalian, apa yang disampaikan Abu bakar kepada sahabat Umar saat itu, adalah keinginan beliau untuk mengangkat senjata dan memerangi para murtaddin (kaum yang murtad) serta mereka yang enggan membayar Zakat, dengan ungkapan beliau,”bahwa aku akan tegas memerangi otang yang coba memisahkan antara sholat dan zakat”.
Setelah mendengar penjelasan Abu Bakar, reaksi Umar bin khattab justru bertolak belakang, ternyata Umar tidak setuju dengan pendapat sang Khalifah Abu bakar, Umar mengatakan,” Wahai,,,Abu bakar, menagapa engkau tidak bermurah hati dan berhati lembut bagi mereka, karena kita mengetahui mereka itu bagaikan binatany buas”. Seketika itu juga Abu bakar menjawab ungkapan Umar sebagai berikut,” Aku datang kesini untuk meminta bantuanmu, namun aku melihat pengkhianatan dirimu wahai Umar,,” dengan ungkapan berani beliau mengatakan, kepada Umar, “Wahai,,,Umar mengapa engkau yang dahulu terkenal kuat/jawara/jagoan/pemberani dijaman jahiliyyah, kini tiba-tiba menjadi pengecut di zaman Islam”, seraya diatas kuda dan memegang jenggot Umar saat itu, Abu bakar berkata lagi dengan nada tinggi, ” jika tidak ada kaum muslimin yang berangkat, maka aku seorang dirilah yang akan mengangkat memerangi mereka”. “Fawallahi maa huwa illa an raiyyatu an qad sarahallahu shadraha Abi bakrin lilqitaal, arraftu innahu al haq”. Demi Allah, seketika itu juga aku melihat apa yang ada pada dirinya kecuali Allah telah melapangkan dada Abu bakar untuk berjihad, saya sungguh mengetahui bahwa kebenaran ada bersama dia.
Dan beliau membuktikan kata-kata tersebut, diujung kota Madinah Abu bakar sudah menyiapkan dirinya, maka buru-burulah para sahabat untuk mencegah keberangkatannya, kali itu sayyidina Ali merayu beliau, “wahai khalifah, cukuplah dirimu bagi kami, karena sarungkanlah pedangmu dan biarkanlah kami yang berangkat”. Maka dari sikap beliau itulah dibentuk 12 tim pasukan yang dikirim ke daerah-daerah yang terjadi gerakan murtad dan keengganan membayar zakat, diantara panglima-panglima yang diangkat beliau adalah ‘amru bin ash, ikrimah bin abu jahal ke wilayah daerah yaman , serta Khalid bin Walid yang sampai ke wilayah yamamah dan pasukannya berhasil membunuh Musaillamah al kadzaab.
Sikap beliau untuk senantiasa memiliki komitmen dengan keputusan, sepertinya didapat dari sang guru beliau dan ummat ini, yaitu baginda Nabi Muhammad SAW, masih ingatkah kita ketika hasil keputusan musyawarah untuk menetapkan agar kaum Muslimin berperang diluar kota Madinah pada perang uhud tahun 3 Hijriyah, mayoritas sahabat, terutama kalangan anak muda ingin offensive, agar menyambut musuh diluar kota, dan Nabi mengikuti pendapat mayoritas saat itu. Apa yang terjadi besok paginya, para utusan anak muda mendatangi Nabi dirumahnya, dan kali itu para anak muda meminta maaf karena rapat tadi malam seolah-olah merekalah yang memaksa Nabi sehingga harus berperang di luar kota Madinah, padahal Nabi sejak awal meminta agar perang dilakukan didalam kota saja. Pembaca sekalian,,,apa jawaban Nabi saat itu,” ketahuilah sahabatku, tidaklah pantas bagi seorang Nabi yang telah memakai baju perangnya kemudian dia melepasnya lagi, demi Allah aku akan menyongsong musuh-musuhku diluar kota Madinah”, yah itulah jawaban yang melambangkan kemauan, tekad sekaligus keistiqomahan.

Saat-saat kritis dalam sejarah (1)

Saat-saat kritis dalam sejarah 1
( Suksesi kepemimpinan pertama kali paska wafatnya Rasulullah SAW)
drg.Syukri Wahid

Wafatnya Rasulullah SAW meninggalkan sebuah permasalahan tersendiri bagi para sahabat pada waktu itu, mengapa para pembaca sekalian? karena tidak satupun dari wasiat Nabi SAW kepada para sahabat yang menyatakan untuk menunjuk seseorang dari kalangan sahabat untuk menjadi pengganti (khalifah) beliau. Situasi seperti ini menjadi sebuah pengalaman perdana bagi kaum Muslimin , yah sebuah pergantian kepemimpinan dalam tubuh kaum muslimin dan sebuah kepemimpinan baru akan muncul ,setelah kurang lebih 23 tahun lamanya Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul dan pemimpin bagi mereka. Suksesi ini menjadi ujian berat bagi kaum muslimin pada saat itu, sehingga jenazah Rasulullah tertunda proses pemakamannya lantaran peristiwa tersebut.
Fiksi Politik pertama kali?
Sebuah kenyataan realitas pada saat itu, terjadinya perbedaan cara pandang para sahabat mengenai ”kondisi” tersebut, setidaknya ada beberapa arus pandangan yang ingin saya kemukakan disini, sebagaimana juga yang ditulis oleh beberapa penulis siroh, seperti imam as suyuthi dalam bukunya tarikh khulafa’. Penulis siroh dari kalangan syiah terang-terangan menyebutkan terjadinya 3 fiksi besar dalam masalah ini, yaitu ahlul bait (keluarga Rasulullah SAW), sahabat Anshar yang mengadakan pertemuan di Bani saidah dan kubu sahabat muhajirin Abu bakar yang dipelopori oleh Umar bin khattab ra.
Saya sendiri tidak terlalu nyaman menyebutkannya dengan istilah ”fiksi” diatas, namun yang tepat mungkin adalah keberagaman untuk mencapapai ijma’. Alasan sederhana yang memungkinkan hal itu terjadi adalah karena memang tidak ada satupun petunjuk dari al quran maupun sunnah berkenaan dengan persoalan kepemimpinan paska wafatnya Nabi Muhammad SAW. Jadi ini juga sekaligus pengalaman ijma’ perdana para sahabat terutama pada masalah politik, dan masalahnya bukan pada fikih ibadah mahdhah (khusus), namun tidak tanggung-tanggung yaitu masalah fikih daulah (negara).
Pertemuan bani saidah.
Para sahabat dari kalangan anshar mengadakan sebuah pertemuan di perkampungan bani saidah, yang hadir merupakan representasi dari kaum anshar secara umum pada waktu itu, agenda pertemuan sangat jelas yaitu tentang mencari siapa sosok pengganti Nabi Muhammad SAW untuk mengurus masalah kaum muslimin. Rapat tersebut menghasilkan satu nama dari sahabat anshar untuk diajukan sebagai khalifah, yaitu Sa’ad bin ubadah, seorang tokoh senior anshar dari bani khajraz.
Pertemuan sahabat-sahabat anshar di bani saidah tidak diketahui oleh sahabat muhajirin, seperti Abu bakar dan Umar bin Khattab, sehingga datanglah salah seorang dari kalangan anshar untuk memberitahukan pertemuan yang sedang berlangsung kepada keduanya. Mendapat laporang langsung, bergegaslah Abu bakar ditemani umar bin khattab, thalhah bin ubaidillah dan sahabat-sahabat muhajirin menuju perkampungan bani saidah. Dalam situasi seperti ini, memang bisa menjadi pemicu konflik antara sesama kaum muslimin, sebagai seorang sahabat utama & senior Abu bakar adalah tokoh terbaik setelah Nabi SAW ingin mencairkan suasana dan ingin mencari solusi yang tepat.
Ketika rombongan muhajirin datang, mereka disambut oleh sahabat-sahabat anshar, dan terjadilah dialog kedua belah pihak, sahabat Anshar mengatakan, ” wahai sahabat kami kaum muhajirin, sungguh kalian telah mengetahui bahwa kami ini adalah kaum yang menolong Nabi Muhammad SAW, karena itu biarkanlah kami mengurus urusan ini”. Pendapat kaum anshar ini merupakan pertanda bahwa merekalah yang berhak mewarisi urusan kekhalifahan selanjutnya. Abu bakar menjawab ungkapan sahabat anshar,” tentang kebaikan kalian adalah benar saudaraku, namun kami adalah kaum Quraisy yang mewarisi urusan ini, jika kalian mau maka akan aku tunjukkan kepada kalian dua orang terbaik dan pilihlah satu dari keduanya yaitu antara Umar bin Khattab dan Thalhah bin Ubaidillah.!!?
Ijtihad politik beliau ini lahir dari sebuah ma’rifah maidaniyyah atau pemahaman lapangan yang baik, kenapa..? jika sa’ad bin ubadah yang diangkat menjadi khalifah, sedangkan beliau adalah petinggi bani khazraj dari kalangan anshar, maka ini akan memicu orang-orang yang memiliki penyakit hati dikemudian hari untuk menjadikannya sebagai sumber konflik, dengan cara memprovokasi sahabat dari kalangan aus untuk bisa juga mengambil posisi kalifah atau setidaknya mempermasalahkan tentang posisi kekhalifahan, prediksi-prediksi seperti ini menjadi salah satu pertimbangna Abu bakar, apalagi sudah ada pengalaman pertengkaran antara sahabat aus dan khazraj ketika seorang tokoh senior yahudi yang mencoba memprovokasi keduanya untuk saling berperang lagi, padahal Rasulullah SAW masih ada diantara mereka dan bagaimana jika Rasulullah SAW sudah tidak ada lagi bersama mereka, peristiwa tersebut direkam Allah SWT dalam surat ali imran : 103, ”dan berpegangteguhlah kalian semuanya pada tali Allah dan janganlah kalian berpecah, dan ingatlah kalian atas nikmat Allah kepadamu, ketika itu kalian berpecah maka kami satukan hati diantara kalian dan kami berikan nikmat-Ku berupa persaudaraan.......”.
Pendapat Abu bakar ini menjadi sebuah penentu dalam upaya menyatukan kaum muslimin paska meninggalnya Rasulillah SAW, beliau mengajukan dengan penuh kerendahan hati, menyebutkan dua nama dari sahabat Nabi yang mulia yang termasuk saabiquuna al awwaliin , mendapat pertanyaan seperti itu,” tiba-tiba Umar bin khattab maju dihadapan kaum muslimin, dan langsung memegang tangan Abu bakar ra dan membaiat beliau sebagai khalifah, dengan suara yang lantang beliau berkata,” wahai kaum muslimin aku membaiat Abu bakar sebagai khalifah, aku tidak menemukan orang terbaik setelah Rasulillah kecuali Abu bakar, beliaulah yang mengganti Nabi menjadi imam shalat ketika sakit, beliau pula yang menemani Nabi SAW dalam perjalanan hijrah”. Sikap umar tersebut disambut spontan oleh para sahabat baik dari muhajirin dan anshar, bahkan salah seorang sahabat anshar langsung membaiat abu bakar dengan tangannya, cairlah suasana yang sempat memanas tadi, lewatlah saat yang kritis itu.

Pidato Pencerahan
Para ahli sejarah mencatat bahwa peristiwa pengambilan sumpah (baiat) Abu bakar ra adalah ”baiat khassah (khusus)”, maka keesokan harinya Abu bakar ra menyampaikan khutbahnya dikalangan seluruh kaum muslimin dan mengambil baiat atau sumpah setia kaum muslimin yang tidak hadir pada pertemuan bani saidah , sebagai sebuah langkah untuk mendapatkan legitimasi publik dan hal itu merupakan modal besar dalam sebuah kepemimpinan apapun.
Dalam pidato yang singkat tersebut, beliau menyampaikan poin-poin yang sangat substansial dalam konsep kepemimpinan baru yang baru saja terbentuk, dihadapan kaum muslimin beliau menyampaikan sebagai berikut,” Wahai kaum muslimin, saya bukanlah seorang yang terbaik diantara kalian, saya adalah orang yang kalian berikan amanah untuk memimpin kalian, jika dalam kepemimpinanku aku berbuat benar, maka dukunglah diriku, namun jika dalam memimpin aku melakukan kesalahan, maka tolong luruskan diriku. Berbuat jujur adalah amanah dan berbuat dusta adalah khianat, sesungguhnya orang yang lemah diantara kalian akan menjadi kuat dihadapanku sampai aku bisa mengembalikan haknya, sedangkan orang yang kuat diantara kalian akan menjadi lemah dihadapanku sampai hak orang lain yang ada padanya dia lepaskan. Bertakwalah kalian kepada Allah, tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mentaatiku jika aku bermaksiat kepada Allah SWT”.
Demikianlah pidato pencerahan sang khalifah Rasulilah SAW, pidato yang hadir bagaikan simpul baru bagi kaum muslimin disaat benang ukhuwah hampir saja putus. Beliau sadar persis bahwa beliau tengah melewati situasi yang sangat kritis yang bisa mengancam integrasi keum muslimin yang sudah dibangun sekial lama oleh Rasulillah SAW. Menjadi unsur perekat bagi kaum muslimin pada saat itu adalah istilah yang tepat bagi khalifah Abu bakar ra, dari sanalah beliau memulai langkah kepemimpinannya, yaitu menyatukan kaum muslimin dari sebab-sebab desintegrasi.

Antara makkah dan Madinah

Antara Makkah dan Madinah
Oleh : Syukri Wahid,drg


Jika kita membahas sejarah perkembangan Islam, maka kita akan selalu membahas dari dua tempat yang bersejarah yaitu kota Makkah dan Madinah, karena memang disanalah Islam dan pembawa risalah ini lahir dan pertamakali tumbuh , berkembang dan kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia, sampai Islam itu masuk kepersada Nusantara ini. Dua tempat ini pula yang kemudian menjadi model “alas” dimana pertama kali Islam dan syariatnya dibumikan.Di tempat ini pulalah sebagian besar atau hampir semuanya Firman Allah SWT diturunkan, karenanya kota ini pulalah yang kemudian mendorong para ulama al qur’an terdahulu mengklasifikasikan ayat-ayat yang turun salah satunya berdasarkan tempat diturunkannya, ayat makkiyah dan ayat madaniyah.

Karena Tahapan Da’wah
Dua tempat ini juga yang menjadikan tahapan da’wah Nabi Muhammad SAW menjadi dua periode besar, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Sebagaimana tema-tema ayat al quran yang turun di kedua tempat sangat berbeda, ayat-ayat Makkah bersifat doktrin yang sangat ketat, motifasi-motifasi langit begitu kuat disini, kisah umat terdahulu sebagai bahan referensi peradaban banyak turun disini, maka ayat-ayat Madinah lebih bersifat hukum dan aturan, kaidah-kaidah sosial muamalah dan lain-lainnya. Begitu juga dengan tahapan da’wah Nabi, tahapan da’wah Makkah tidak lepas dari tema-tema ayat makkah, maka judul da’wah Islam di Makkah adalah “ta’siis ad da’wah atau peletakan basis da’wah, tahapan ini lebih fokus kepada “binaa syakhsiyah Islamiyyah wa dda’iyyah“ atau fokus terbesar da’wah Nabi adalah mencetak generasi terbaik yang Islami dan menyiapkannya menjadi “agen perubah” masyarakat.
Ciri lainnya adalah “nasrul fikrah” atau penyebaran nilai-nilai luhur Islam dengan cara yang santun dan menjauhi konfrontatif langsung dengan musuh-musuh da’wah pada saat itu, yah itulah makkah, namun judul da’wah Nabi di Madinah adalah era “melembagakan da’wah” dalam bentuk institusi kekuatan yang bernama Negara, dimana Negara ini akan berfungsi sebagai alat untuk menjalankan “kehendak-kehandak Allah SWT” atau syariat diatas bumi ini, karena itu pulalah distribusi kader da’wah untuk mengisi pos-pos Negara menjadi niscaya disini. Sehingga ustadz Anis matta dalam bukunya “dari gerakan ke Negara” mengatakan bahwa da’wah di Makkah adalah dimana Islam mengindividu dan memasyarakat namun da’wah di Madinah adalah dimana Islam telah menegara. Hal ini sekaligus mengatakan kepada kita bahwa Islam bukanlah agama yang hanya tegak dalam nilai-nilai pribadi namun juga harus tegak dalam nilai-nilai kekuasaan kenegaraan.
Dari rahim dua kota ini juga telah melahirkan dua generasi emas yang menjadi buah bibir sejarah selama 1 milenium lebih sebelum runtuhnya kekhilafahan Utsmani di Turki, yah… itulah mereka generasi Muhajirin dan Anshar. Muhajirin adalah kata yang menggantikan kaum muslimin Quraisy yang hijrah dari Makkah ke Madinah, sedangkan Anshar adalah kata yang menggantikan kaum muslimin Yastrib (sebelum dirubah menjadi madinah) yang menampung orang muslim Quraisy dikota mereka, madinah. Dua komunitas ini disatukan oleh Nabi Muhammad SAW dari komunitas nasab antara Quraisy & Yastrib menjadi komunitas ideologi yaitu Muhajirin dan Anshar, dari sekedar ikatan suku menjadi ikatan agama, tanpa menghilangkan karakter suku masing-masing tentunya, namun begitulah adanya bahwa dua generasi dari dua kota yang berbeda ini bertemu menjadi satu dan berhasil membentuk pola interaksi sinergi positif dalam segala hal.
Kaum Muhajirin sebagian besar mereka adalah “pebisnis” yang handal, mereka juga adalah marketer yang unggul, sehingga Allah mengabadikan perilaku bisnis mereka dalam surat al Quraisy ayat dua, ”iilaa fihim rihlatassyitaai wa sshoif”, yaitu kebiasaan mereka (Quraisy) berpergian bisnis pada musim dingin dan panas. Kota Makkah tidak memiliki produk unggulan, satu-satunya yang menguntungkan kota Makkah adalah sebagai kota jasa dan kedudukannya sebagai “kota wisata spiritual” dimana tiap musim haji dipastikan banyak orang dari penjuru Arab mendatangi Makkah untuk melakukan ritual Haji, hal ini berkonsekuensi kepada hadirnya pasar-pasar tahunan yang membangkitkan ekonomi Makkah.
Sebaliknya kota Madinah adalah kota agraris, sebagian besar penduduknya adalah petani gandum dan kurma. Sehingga sahabat Anshar juga sebagian besar adalah petani, karakter masyarakat petani tentulah tidak sama dengan masyarakat pedagang. Hijrah berhasil mempertemukan dua potensi ekonomi besar yaitu, bertemunya petani dengan penjual, bertemunya produk dengan pasar, sehingga sahabat Anshar yang selama ini kesulitan dalam hal jalur penjualan hasil panen mereka, maka sahabat muhajirinlah yang akan menjualkan hasil panen mereka, tidak mengherankan jika dalam waktu satu bulan Nabi di Madinah, sahabat muhajirin berhasil membangun pasar baru dan para petani anshar tidak tergantung lagi dengan pasar kaum Yahudi pada saat itu. Antara Makkah dan Madinah dihubungkan dan disatukan secara erat oleh Nabi lewat momentum Hijrah beliau yang terkenal itu, namun secara nasab dan psikis beliau dihubungkan lewat silsilah ayah beliau, Abdullah bin Abdul muthalib yang lahir dikota yastrib, dan rajin “transit” dikota madinah dalam setiap perjalanan bisnis ke negeri Syam, bahkan ayah Nabi SAW tersebut meninggal di daerah Quba, yastrib dan dimakamkan disana. Sehingga ketika beliau hijrah ke madinah.
Ketika penaklukkan kota Makkah tahun dan perang Hunain pada tahun 8 H, Nabi Muhammad SAW mendapatkan harta ganimah (rampasan perang) yang sangat banyak, dan beliau membagikan semuanya kepada penduduk Makah, khususnya kepada mereka yang baru masuk kepada Islam (mu’allaf), pada saat itu tidak satupun sahabat Anshar kebagian ganimah, mulailah mereka mengatakan, “ bahwa kini Nabi sudah kembali ke kaumnya(penduduk makkah)”, mungkin Nabi tidak lagi ke madinah, itu ungkapan hati penduduk madinah. Kemudian Nabi mengatakan kepada sahabat Anshar, “ wahai sahabat Anshar, apakah kalian ridho jika mereka pulang ke makkah membawa unta & kuda, sedangkan kalian pulang membawa diriku ke madinah?, sekiranya bukan karena Hijrah aku bukanlah bagian dari orang Anshar, ketahuilah jika disebuah bukit yang bercelah ada dua kaum yang berjalan, dan satu adalah jalannya kaum Anshar, demi Allah aku akan memilih jalan yang dilalui oleh orang Anshar, Ya Allah ampunilah orang Anshar, rahmatilah mereka dan keturunannya”.

Dibalik misi rombongan Haji itu...


Misi rombongan Haji itu…
(catatan ketika Abu Bakar menjadi ‘amirul Hajj pertama)




Setelah pulang dari perjalanan perang tabuk yang begitu melelahkan, Nabi dan kaum muslimin menghabiskan waktunya pada sisa bulan ramadhan tahun itu. Menjelang masuknya bulan Haji dzulhijjah tahun 9 H, Nabi SAW berkeinginan mengirim rombongan kaum muslimin untuk melakukan ibadah Haji perdana. Ibadah Haji yang sesuai dengan “versi” Islam., karena sampai tahun itu juga masih banyak kabilah-kabilah Arab yang mendatangi Makkah melakukan ibadah Haji dengan cara yang batil, diantaranya mereka bertawaf dalam keadaan tidak berpakaian. Padahal sejak paska penaklukan kota Makkah tahun 8 H, sebenarnya Nabi telah menguasai kota Makkah seluruhnya, bahkan patung-patung berhala sejumlah 360an dihancurkan langsung oleh beliau, tentu beliau sangat mudah memiliki hak untuk melarang praktek Haji seperti itu, namun Nabi belum melakukannya.
Maka, dengan penuh nasihat beliau melepas rombongan Haji perdana tersebut dan mengangkat Abu Bakar siddiq ra sebagai ‘amiirul Hajj atau ketua rombongan haji, disertai kurang lebih 300 sahabat yang membawa 20 ekor hadyu (hewan kurban). Abu bakar mendapat tugas khusus yang begitu istimewa karena beliau menjadi wakil Nabi untuk melakukan ibadah Haji dengan versi syariat Islam, tentu akan menjadi sebuah pemandangan yang kontras nanti dalam ibadah yang tersebut, kaum muslimin dengan versinya sedangkan orang musyrik dengan versinya sendiri. Itu adalah misinya Abu bakar.
Ketika rombongan Abu Bakar telah berangkat, maka turunlah permulaan surat at taubah ayat 1 sampai 6, dimana Allah SWT telah membuat sebuah garis penegasan dengan perintah untuk berlepas diri atau memutus semua hubungan dengan orang-orang musyrik dan semua bentuk perjanjian antara kaum muslimin dengan pihak musyrik pada saat itu, dan kaum musyrik yang belum memiliki hubungan perjanjian dengan kaum muslimin diberi tempo 4 bulan untuk berpikir. Sehingga ayat ini memeberikan misi baru kepada Nabi untuk segera menyampaikan kepada pihak musyrik makkah khususnya, maka mengangkat delegasi khusus dengan misi menyampaikan isi surat at taubah tersebut pada seluruh jama’ah Haji pada hari nahar atau hari melontar jumrah, maka Ali bin Abu Thaliblah orang yang ditunjuk Nabi untuk tugas ini.
Ketika Abu bakar melihat Ali menyusulnya, maka beliau mengatakan kepada Ali, “wahai Ali, apakah kedatanganmu ini untuk memimpin atau dipimpin?, maka Ali menjawab,”bahkan, aku dipimpin”, maka bergabunglah rombongan tersebut dengan 2 misi yang berbeda. Abu bakar berangkat dengan misi mencontohkan syiar-syiar Haji yang benar menurut Islam sedangkan Ali bin Abu thalib berangkat dengan misi menyampaikan keputusan Allah SWT yang terdapat dalam surat at taubah. Yang jelasnya bahwa misi ini dieksekusi oleh orang terbaik dari ummat ini setelah Nabi SAW, Abu bakar adalah orang yang paling dicintai Rasulullah SAW, ketikan seorang sahabat bertanya ,”man ahabba an naasa ilaika, ya Rasulallah? Siapakah dari kalangan manusia yang engkau cintai, ya Rasulullah ? Beliau menjawab,” ‘Aisyah, kemudian sahabat memperjelas lagi, minar rijaal? kalau dari kalangan laki-laki?, beliau ,menjawab ”Abuuha”, ayahnya ‘Aisyah (Abu bakar). Begitu juga dengan Ali bin Abu thalib seorang yang ‘alim dan faqih dari ummat ini, sehingga Rasulullah SAW bersabda,” Sesungguhnya Ali selalu bersama al quran dan al quran selalu bersama Ali, dan keduanya tidak akan berpisah sampai kematiannya”.

Keberhasilan sebuah misi
Rangkaian ibadah Haji berjalan sebagaimana keinginan Abu bakar, memang pada saat itu mayoritas jama’ah haji berasal dari kaum muslimin, sehingga menjadi arus dominan dibandingkan jamaah dari kabilah yang lain. Peletakan syariat syiar Haji begitu penting dalam kehidupan ibadah kaum muslimin waktu itu, apatah lagi Haji adalah merupakan rukun ke lima dalam Islam. Islam menghapus beberapa rangkaian kebiasaan orang musyrik pada waktu berhaji, diantaranya adalah jika mereka melakukan tawap dengan cara tidak memakai busana, bahkan diantara mereka ada yang bertawaf dengan telanjang bulat, mereka mengatakan, “ bahwa kami melakukan tawaf menghadap Allah dengan cara tidak berpakaian sebagaimana kami lahir dari perut ibu kami dalam keadaan telanjang”.

Ultimatum Ideologi
Ketika hari melakukan wukuf telah tiba, dan berkumpulah disana semua jama’ah haji, baik dari kaum muslimin maupun mereka yang masih musyrik, itulah kesempatan yang tepat bagi Ali bin Abu thalib yang juga ditugaskan untuk menyampaikan “misi” dari Rasulillah SAW. Dengan suara yang lantang dihadapan semuanya, beliau mengatakan , ”dengarkanlah kalian semua,” sesungguhnya orang kafir akan masuk kedalam neraka jahannam semuanya, setelah tahun ini tidak boleh lagi orang musyrik melaksanakan ibadah Haji dan melakukan tawaf dengan telanjang, bagi kabilah/suku yang masih terikat perjanjian dengan kaum muslimin diperbolehkan untuk dilanjutkan sampai waktu yang telah ditentukan bersama dan bagi kabilah/suku yang belum memiliki perjanjian dengan kaum muslimin, maka diberikan waktu selama 4 bulan dan jika mereka tetap memilih keyakinan lamanya, maka mohon segera meninggalkan kota makkah dan mencari tempat yang lebih aman”.
Singkat tapi padat, pendek tapi lugas, dia adalah pidato sekaligus keputusan. Kira-kira apa yang ada dalam benak jama’ah haji musyrikin pada saat itu, apa kemudian mereka melakukan kerusuhan tiba-tiba dalam rombongan haji tersebut? Kalimat itu kelihatannya ”keras” namun apa yang membuat mereka dengan lapang dada menerima itu semuanya.

”waktu untuk belajar”
Yang menarik disini adalah pada poin ”ikatan perjanjian”, bahwa kabilah atau suku yang masih berjalan waktu perjanjiannya dengan kaum muslimin tidak akan dibatalkan sampai batas waktu perjanjian tersebut, Nabi tidak membatalkan sepihak, walaupun posisi kaum muslimin sudah menjadi ”penguasa” saat itu. Ini sebuah bentuk pealajaran tersendiri bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan selalu umatnya untuk menjaga dan komitmen kepada semua kesepakatan bahkan kepada kaum musyrik sekalipun, berkuasa tidaklah mendorong beliau untuk menindas apalagi menzalimi orang lain, dan mereka dipersilahkan dengan keyakinan mereka.
Apakah ini adalah keputusan tanpa pilihan? mari kita lihat pada poin setiap suku/kabilah yang belum memiliki ikatan perjanjian dengan kaum muslimin, maka diberikan waktu selama 4 bulan untuk berpikir, dan maksud dibiarkan berpikir ini juga mengandung pelajaran bahwa aspek pemahaman begitu penting, jangan ada unsur pemaksaan kepada umat lain. Tidak ada pemaksaan untuk masuk kedalam ajaran Islam. Islam menhendaki setiap pemeluknya untuk menjadikan dasar-dasar bergabungnya dia kedalam Islam karena faktor pengetahuan dan pemahaman, bukan karena faktor lingkungan dan dorongan emosianal saja.

Sabtu, 04 Oktober 2008

Fikih Kemenangan dalam Hijrah


Fikih Kemenangan dalam HIJRAH
Oleh : Syukri Wahid,drg (ketua DPD PKS Balikpapan)




Hari itu para petinggi Quraisy menggelar rapat tinggi di tempat pertemuan mereka yang bernama “daarun nadwah”, suatu tempat dimana mereka sering melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan-keputusan resmi berkenaan dengan semua permasalahan kota makkah. Pada tahun itu, usia dakwah Nabi telah memasuki tahun ke 13 dari awal kenabian. Arus da’wah nabi yang berpijak kepada Tauhid, dari tahun ketahun memperlihatkan perkembangan yang signifikan, semakin banyak putra putri terbaik Makkah yang masuk kedalam pangkuan Islam, sehingga pada waktu itu semua klan suku Quraisy sudah ada pemeluk agama Islamnya.
Bagi Quraisy, hal tersebut adalah ancaman besar bagi eksistensi peradaban mereka. Usaha mereka untuk membendung da’wah beliau selama ini tidak memperlihatkan hasil yang sesuai dengan harapan mereka, berbagai cara sudah ditempuh, mulai dengan teror psikis, fisik serta cara-cara lembut seperti “merayu” beliau dengan harta, tahta dan wanita tidak membuat beliau bergeser dari da’wah. Karena itu puncaknya mereka menggelar rapat tinggi untuk mencari “senjata ampuh” untuk menghentikan dakwah beliau.

Konpirasi Pembunuhan
Beberapa usulan berkembang dalam rapat tersebut, ada usulan untuk ”mengusir” Muhammad ke luar kota madinah, namun dibantah oleh beberapa petinggi mereka, bahwa jika kita usir maka secara politis kita kalah, karena mungkin saja muhammad akan membangun basis dakwahnya dikota lain dan jika sudah besar dia akan menyerang kita, dan juga secara citra kita (orang-orang makkah) akan diangggap oleh publik sebagai kota yang sektarian dan tertutup, hanya karena berbeda paham dengan mayoritas masyarakat langsung diusir dari Makkah, bukankah makkah tiap tahunnya terbuka untuk seluruh bangsa Arab untuk melaksanakan ibadah haji, semua bisa datang kesana tanpa ada penindasan.
Usulan kedua menginginkan Muhammad dipenjara saja, agar dia tidak bisa melakukan da’wahnya kemasyarakat. Usulan inipun ditolak karena dengan dipenjara akan mengundang simpati orang lain, sehingga akan menambah banyak orang yang mendukung dakwahnya, apalagi Muhammad sudah terlanjur dikenal pribadi yang jujur oleh publik.
Dalam buku-buku tentang siroh nabawiyah, diriwayatkan dalam pertemuan tersebut tiba-tiba hadir iblis yang menjelma dalam bentuk manusia tua renta, dia mengusulkan agar Muhammad dibunuh saja, alasannya sederhana untuk bisa menghentikan risalah Islam, bunuhlah pembawa risalahnya. Pendapat ini diaminkan oleh Abu Jahal, sehingga dia mengusulkan agar tiap kabilah mengutus seorang jawaranya dan membunuh Muhammad secara bersama-sama, agar darah Muhammad tercecer disemua kabilah, dengan demikian bani Hasyim (suku Nabi Muhammad SAW) tidak akan sanggup melawan kita semua.

Makar musuh vs Makar Allah
Makar keji kafir quraisy tersebut diabadikan oleh Allah SWT dalam surat al anfal ayat 30, sekaligus Allah SWT memberitahukan rencana makar quraisy ini kepada Nabi, dimana Allah SWT berfirman,:”dan ingatlah ketika orang-orang kafir membuat makar keji/tipu daya terhadapmu untuk meangkap & memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah membatalkan tipu daya itu. Dan Allah adalah sebaik-baik pembuat tipu daya”. Jika para musuh Allah SWT memiliki planing strategis membunuh Nabi sebagai pemimpin risalah Islam, maka Allah SWT juga memiliki perencanaan yang lebih jitu untuk menyelamatkan Nabi-Nya dari rencana pembunuhan tersebut. Semua prosedural penyelamatan Nabi SAW ini kita kenal dengan peristiwa Hijrah.
Bukti pertama kekalahan makar para kafir quraisy adalah hilangnya secara tiba-tiba kaum muslimin dari interaksi pergaulan sosial kota Makkah, ternyata sebelum para petinggi quraisy rapat, Nabi SAW sudah terlebih dahulu mengistruksikan semua para sahabat untuk segera meninggalkan kota Makkah dan berhijrah menuju Madinah, kecuali beberapa sahabat saja yang ditunjuk beliau untuk tetap tinggal di Makkah untuk tugas-tugas tertentu, sehingga para petinggi quraisy sudah menduga terjadi kebocoran pada rencana mereka.
Kemudian seluruh jawara Quraisy berkumpul mengepung rumah Rasulullah SAW, sehingga pada waktu yang disepakati mereka langsung membunuh beliau, apa yang terjadi para pembaca sekalian, ternyata Rasulullah SAW menyuruh Ali bin Abu Thalib untuk menggantikan beliau untuk tidur diatas ranjangnya. Kemudian atas ”makar” atau tipu daya Allah SWT beliau keluar dari rumah melewati para jawara Quraisy tanpa terlihat, beliau pun sempat menabur pasir diatas kepala seorang musuh pada saat itu. Hal tersebut tidak disadari oleh mereka, sehingga salah satu dari mereka berkata,”sungguh Muhammad telah meninggalkan kalian, dan dia menaburi pasir diatas kepala kalian”, terkaget mereka, tak ayal mereka langsung masuk ke kamar Rasulullah SAW dan sungguh terkejutnya mereka karena yang tidur diatas ranjang adalah Ali bin Abu Thalib.

Fikih Tamkin (Kemenangan) dalam Perjalanan Hijrah
Proses Hijrahnya Nabi SAW merupakan ”seni berperang” tersendiri,disana banyak terdapat siyasah syar’iyah (politik yang syar’i) menurut DR.Said Ramadhan dalam buku fiqhussirahnya .Ketika orang kafir Quraisy memastikan Muhammad telah lolos dari upaya pembunuhan yang mereka lakukan, maka mereka menginstruksikan agar status makkah menjadi siaga satu, semua sipil dan militer makkah dikerahkan untuk menangkap hidup-hidup Muhammad bahkan mereka menggoda semua orang dengan cara membuat sayembara berhadiah ,jika ada yang sanggup menangkap Muhammad maka akan diberi hadiah 1000 ekor unta.
Sekali lagi Allah SWT adalah sebaik-baik pembuat tipu daya, namun tipu daya ini diturunkan Allah melalalui tahap-tahap prosedural manusiawi artinya bagaimana Allah menyelamatkan Nabinya itu tidaklah terlepas dari ikhtiar maksimal dari Nabi untuk menyusun rencana penyelamatan dirinya sendiri.

a. Menjaga kerahasiaan Perjalanan
Bukti nabi mengelola kemenangan ditempuh dengan ikhtiar manusiawi adalah menjaga kerahasian perjalanan, bahkan terhadap keluarga dekat beliau dan Abu bakarpun tidak diberitahu. Hal ini dalam rangka memastikan perjalanan beliau aman dan tidak terdeteksi oleh pihak musuh, dan hanya memberitahu kepada orang-orang tertentu saja, karena seringkali kegagalan sebuah operasi politik karena sudah ”bocor” terlebih dahulu.

b. Menghilangkan jejak perjalanan
Pasukan musuh menduga kuat bahwa Muhammad lari menuju madinah, maka mereka mengejar kearah utara kota makkah, namun diluar dugaan Nabi dan Abu bakar justru berjalan ke arah selatan, ini bukti Nabi menempuh ”siyasah” atau siasat perang dengan cara mengecoh musuh. Beliau bersembunyi di gua tsuur selama 3 hari. Bisa kita bayangkan kepanikan orang quraisy, bagaimana bisa muhammad dalam hitungan jam tidak dapat terdeteksi keberadaannya.

c.orang yang tepat untuk pekerjaan yang tepat pula
Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan kepada sahabat,”ketahuilah sesungguhnya perang itu adalah tipu daya”, dan dalam proses hijrah itu nabi benar-benar mempraktekkannya, yaitu memakai ”orang-orangnya” untuk sebuah tugas khusus. Tiga hari digua tsuur tentu Nabi SAW butuh makanan dan minuman, bagaimana cara Nabi SAW mendapatkan suplai logistik tersebut? Adalah dengan cara melibatkan dua orang, pertama adalah Asma’ binti Abu Bakar yang tiap siang membawa makanan, dimana dalam hamil tua beliau berjalan sejauh 5 mil untuk membawa makanan, orang kedua adalah Amir bin fuhairah, seorang mantan budak yang sengaja mengembala kambing yang gemuk dekat dari gua tsuur agar air susunya bisa diminum oleh Rasulullah SAW dan Abu Bakar, sekaligus juga kambing-kambing itu akan menghapus jejak kaki dari Asma’ binti abu bakar sepanjang perjalanan.
Itu dari sisi logistik, karena ini adalah perang politik, maka akses data informasi sangat berharga disini, namun bagaimanakah cara agar Nabi bisa mengetahui seluruh gerak-gerik musuhnya walau beliau berada didalam gua tsuur sekalipun . Orang yang tepat untuk merekam semua aktivitas Quraisy adalah Abdullah bin Abu bakar, setiap sore menjelang malam, Abdullah berangkat menuju gua tsuur untuk melaporkan semua informasi yang didapatkannya kepada Nabi, ini yang dalam dunia intelejen disebut dengan spionase atau mata-mata. Mungkin kita bisa bertanya kenapa tidak Asma’ saja yang membawa informasi ini sekaligus pada saat membawa rantangan makan? Inilah nilai siyasah (politik) diantaranya yang beliau lakukan.
Masih ada satu lagi, yaitu akses jalan ke Madinah, Nabi SAW sadar persis bahwa semua akses jalan ke Madinah pasti akan dijaga ketat oleh pihak musuh, karena itu Nabi SAW memerlukan orang yang bisa menuntun jalan ke Madinah dengan menggunakan jalur jalan yang tidak lazim, dan orang yang dipakai Nabi SAW adalah Abdullah bin Uraiqith, seorang yang masih beragama jahiliyah, namun disini babnya bukan bab akidah, bahwa dalam perang sarana yang bisa memenangkan da’wah harus dimaksimalkan, walau itu harus memanfaatkan ”seorang” dari kalangan mana saja, yang jelasnya Nabi memberi upah setimpal kepadanya, dan Abdullah berkewajiban menuntun nabi sampai ke madinah, jadi ini murni bisnis jasa juga. Ulama sejarah lebih sering menyebutnya dengan istilah ”intifa’” (seni memanfaatkan musuh).

d.Usaha dulu baru tawakkal
Memang tipis antara ruang ikhtiar atau usaha dengan tawakkal, usaha adalah wilayah manusia namun tawakkal adalah wilayah Allah SWT. Proses hijrah ini memadukan keduanya dalam proposianal yang sebenarnya. Perencanaan Nabi yang begitu matang, mulai dari waktunya, orang-orang yang dilibatkan, sarana yang dipakai, antisipasi resiko perjalanan, pendek kata semua itu lahir dari wilayah ikhtiar kemanusiaan Nabi.Yang jelas Nabi mengeluarkan semua potensi bashariyah (kemanusiaan) untuk merencanakan kemenangan tersebut, intinya disitu.
Cobalah perhatikan, ketika beliau dan Abu Bakar bersembunyi digua tsuur, dan sehebat-hebatnya beliau merencanakan semua dengan matang, ketika hari ketiga persembunyian, tiba-tiba ada sekelompok pasukan berkuda musuh yang sampai juga memantau ke gua tsuur, ketika mereka telah berada dimulut gua untuk melihat kedalam, Abu Bakar berkata kepada Nabi Muhammad SAW,”Ya, Rasulullah sekiranya mereka melihat dan menunduk kebawah, niscaya kita akan ketahuan”?, Nabi menjawab, ”la,tahzaan, innallaha ma’ana ”, janganlah engkau takut karena Allah bersama kita. Inilah yang kita sebut tawakkal, dimana ketika kita telah mengeluarkan seluruh ikhtiar kita dan tidak ada lagi akal diatas itu, barulah jurus yang paling ampuh adalah tawakkal, dan disitulah nanti Allah menurunkan pertolongan-Nya, sehingga tawakkal adalah cara kita ”menggoda” Allah agar mau menolong kita.
Para pakar manajemen modern selalu mengatakan bahwa, kita memang percaya dengan ”perencanaan”, namun kita lebih yakin dengan ”ketidakpastian” . Semoga pelajaran hijrah dalam perpektif politik akan semakin mengantarkan kita kepada sebuah kesimpulan utama bahwa, memang kemenangan itu harus dimimpikan, kita punya banyak mimipi-mimpi kemenangan ditahun ini, namun yang pasti kita harus kita lakukan adalah mendatangkan semua faktor-faktor kemenangan tersebut dalam ikhtiar kita, nanti biar Allah yang menentukan bahwa kita memang layak untuk ditolong, memang layak untuk diberi kemenangan. SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARRAM 1429 H


Serangan Kedamaian

“ SERANGAN KEDAMAIAN “
(Sejarah penaklukkan kota Makkah)
drg.Syukri Wahid

Apa yang kira-kira dipikirkan oleh semua orang, jika sebuah negeri kedatangan sebuah pasukan yang besar dengan persenjataan yang lengkap untuk “memerangi” mereka, mungkin hampir setiap kita akan berpikir sebagaimana berpikirnya ratu balqis, seorang ratu penguasa kerajaan Saba di Yaman ketika itu, tatkala dia mendengar ada seorang Raja yang bernama Sulaiman as dari Palestina akan datang “memerangi” kerajaannya. Ungkapan sang ratu direkam oleh Allah SWT didalam al quran surat an naml ayat 34, ” raja puteri itu berkata:”sesungguhnya raja-raja apabila memasuki sebuah negeri (dengan paksa), niscaya mereka mengadakan kerusakan didalamnya dan menjadikan orang-orang yang mulia dari penduduknya menjadi orang-orang yang hina”, demikianlah yang mereka lakukan”.
Namun, kaidah “memerangi” yang identik dengan membuat kerusakan dan kehinaan jiwa penduduk negeri yang diperangi itu tidak berlaku dalam kamus perang yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Ketika beliau dengan pasukan berjumlah 10 ribu orang “mendatangi” kota Makkah pada bulan ramadhan tahun 8 H, pertistiwa yang kita kenal dalam sejarah sebagai “fathul makkah”. Dari istilah “perang”nya sangat saja jauh dari unsur teror dan kerusakan,yaitu kata fath dan al quran lebih sering memakai istilah “fathan” artinya membuka atau “isti’mar” berarti memakmurkan”. Sehingga jika Islam “memerangi” sebuah negeri akan berimplikasi terhadap pembebasan dari unsur keterjajahan sesungguhnya, seperti unsur perbudakan, penghambaan terhadap manusia dan kezhaliman sebuah sistem dan ada efek memakmurkan negeri tersebut sebelum Islam datang kesana.
Perang & Citra
Ada satu misi besar yang sulit beliau lakukan dalam fathul Makkah pada waktu itu, ialah bahwa beliau ingin membawa pasukan yang besar dengan komposisi pasukan dari berbagai kabilah dan bergerak massal secara rahasia tanpa diketahui oleh pihak Makkah serta beliau menginginkan, agar pasukan yang banyak ini membuat ”terkejut” pihak quraisy, sebagaimana doa beliau dalam perang ini, ” Allahumma khuzil absharul quraisy, laa yarauna anni illa baghtah”, Ya Allah, tutuplah mata pihak quraisy, dan jangan engkau biarkan mereka melihat diriku, kecuali kedatanganku akan mengejutkan mereka.
Urusan perang bukan saja sekedar urusan memenangkan dimedan fisik atau laga, namun juga bagaimana memenangkannya dimedan jiwa dan pikiran, agar keduanya bergabung menjadi kemenangan paripurna. Jadi bagaimana pasukan ini dapat memasuki ke dalam jantung kota makkah tanpa ada ”kerusakan” dan ”pertumpahan darah” dan juga bagaimana Islam juga dapat memasuki kedalam jiwa-jiwa penduduk makkah yang jahiliyyah tanpa ada ”kehinaan” bagi mereka, sebagaimana ketakutan ratu balqis dalam ayat diatas.
Rekayasa Citra
Ketika pasukan Muslim bermalam disebuah tempat yang bernama mar azzhran, sebuah tempat yang sudah sangat dekat dari kota Makkah, Nabi dan pasukannya beristirahat disana untuk berkemah, Nabi berpesan agar malam itu seluruh pasukan berpencar dan memperbanyak api unggun. Aktivitas militer Nabi sampai detik itu belum diketahui oleh Abu sufyan sebagai penanggung jawab tertinggi militer quraisy. Dalam beberapa hari memang Abu sufyan selalu mencari informasi dari berbagai pihak, apakah kaum muslimin di madinah akan memerangi makkah, dugaan abu sufyan tersebut sangat beralasan , karena ulah sekutu mereka dari bani bakar yang telah membunuh 20 orang dari bani khuzaah yang merupakan sekutu Nabi muhammad SAW, berkonsekuensi terhadap pelanggaran terhadap ”perjanjian Hudaibiyah” yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dimana salah satu poin perjanjian mengatakan setiap suku yang ingin bersekutu kepada kedua belah pihak dipersilahkan, dengan berpihak kepada salah satu suku berarti itu sama saja hak & kewajiban yang diberikan sama, melukai sebuah suku yang bergabung berarti itu sama saja melukai induk sekutu mereka, dalam hal ini bani khuzaah sekutu induknya adalah Nabi Muhammad SAW.
Abu sufyan dan dua rekannya pada akhirnya dapat mengintai pasukan yang berkemah tersebut, dengan melihat bapi unggun yang banyak, Abu sufyan berkata kepada rekannya,” demi Allah ini bukan pasukan bani khuzaah yang datang ingin balas dendam, tidak mungkin mereka memiliki pasukan sebanyak ini”, seraya menunjuk api unggun yang banyak. Strategi Nabi untuk memperbanyak api unggun telah menciutkan perasaan lawan, mereka akan menduga kalau setiap api unggun akan dikerumuni sekitar 20 sampai 30 0rang, maka abu sufyan tinggal menghitung saja jumlah api unggun dan dikalikan kapital jumlah tersebut. Inilah yang disebut oleh Nabi bahwa , sungguh perang itu adalah tipu daya”.
Abbas bin Abdul muthalib, paman nabi yang telah memeluk Islam, diam-diam ingin memberitahukan kepada pihak quraisy agar mereka menyerah saja sebelum pasukan kaum muslimin menyerang kota makkah. Ditengah gulitanya malam akhirnya dia menemukan abu sufyan dan rekannya yang sedang mengintai pasukan Islam. Abbas ditanya oleh abu sufyan, siapa mereka itu?, Abbas menjawab,”celakalah engkau abu sufyan, itu adalah pasukannya Muhammad SAW”, mendapat kepastian bahwa ternyata pasukan yang sedang berkemah itu adalah pasukan kaum muslimin, maka lemaslah abu sufyan.
Atas perantara abbas bin abdul muthalib, abu sufyan diantar ketempat tenda nabi, disanalah abu sufyan menyatakan keislamannya, setelah ditundukkan dengan bahasa ”kekuatan”. Abbas menyarankan kepada Nabi agar beliau mau ”memuji dan memuliakan” abu sufyan, karena dia orangnya tipenya seperti itu, kata abbas.Nabi sadar persisi, lain orang lain karakter dan lain juga bahasanya, sebagaimana sabda Nabi,”khatibunnaasa ’ala qadri lughatihim”, bicaralah dengan manusia menurut kadar bahasanya. Sehingga un tuk abu sufyan, beliau mau untuk mengangkat dan memujinya, dengan ungkapan yang terkenal ketika beliau memasuki kota makkah, beliau mengatakan kepada penduduk makkah,”barang siapa yang masuk ke kabbah dia aman, barang siapa yang masuk kedalam rumah abu sufyan maka dia juga aman”, betapa keindahan ”serarangan” Nabi ini dengan cara menyamakan kedudukan ka’bah dengan abu sufyan. Ini bukti bahwa tidak ada penduduk yang dihinakan disini, inilah salah satu bentuk ”pesona” serangan islam.
Nabi meminta kepada abbas, agar dia mengantar abu sufyan dipinggir bukit sebelum masuk kota makkah pada pagi hari, tempat nanti Nabi ingin memperlihatkan ”parade kekuatan” barisan kaum muslimin. Nabi membagi pasukannya menjadi 3 kompi besar, agar tiga pintu utama kota makkah dimasuki oleh pasukan ini. Abu sufyan dari ketinggian bukit melihat satu demi satu parade barisan, setiap kali abu sufyan bertanya yang lewat didepan matanya, dia mengatakan kepada abbas, siapa mereka ?itu adalah bani maizanah, abu sufyan menjawab, apa urusannya dengan diriku. Setiap kali abbas memberitahu kepada abu sufyan, mereka dari kabilah fulan, maka abu sufyan menjawab sama. Sampai dia takjub melihat pasukan besar berwarna hijau dengan wajah tertutup semua dengan pakaian besi, abu sufyan mengatakan, siapa mereka itu? Itulah kaum muhajirin dan Anshar, dimana ada Nabi ditengah-tengah mereka, maka abu sufyan mengatakan, ”kini muhammad tidak bisa lagi dikalahkan , kini kemenakanmu telah menjadi raja besar di tanah arab”, kemudian ditanggap oleh abbas, ” bukan,wahai abu sufyan, itulah nubuwwah”. Maka dari sini tergambar menyerahnya abu sufyan, keinginan nabi untuk mengejutkan mereka berhasil, menang tanpa kekerasan.
Makkah pada hari itu menjadi sesak dengan kaum muslimin, negeri yang dahulu mereka terusir darinya oleh karena mereka ingin beriman kepada Allah yang satu dan meyakini Muhammad sebagai Rasul Allah, kini mereka datang penuh kemuliaan tanpa ada penindasan. Karena eforia yang begitu hebat, seorang shabat bernama Sa’ad bin ubadah, berteriak dari atas untanya, ” hari ini adalah hari pembalasan, hari dimana dihalalkannya semua yang dilarang ka’bah”, Nabi sadar ucapan sahabat ini mengandung ”teror” yang bisa mencedarai kejiwaan penduduk makkah, maka Nabi menyambut teriakan Sa’ad dengan ucapan, ”bukan, bahkan pada hari ini adalah hari rahmah, hari dimana Allah memuliakan ka’bah”, maka ucapan ini membuat tenang penduduk makkah. Ini juga salah satu bukti, dimana Nabi ingin membangun citra positif tentang Islam, Islam bukanlah agama ”penebar teror” bahkan Islam sesuai akar namanya assilmu adalah ”pembawa kedamaian”.
Ketika hari kedua Nabi di makkah, semua penduduk makkah dikumpulkan didepan ka’bah, dihadapan Nabi mereka semua digiring. Semua mereka sudah menduga yang tidak-tidak, teringat mereka akan kejahatan yang telah mereka perbuat beberapa tahun lalu ketika mereka menghalang-halangi da’wah Nabi, ketika mereka menyiksa beliau dengan para sahabat, ketika mereka mencemarkan nama baik beliau dengan istilah tukang sihir,dukun, orang gila dan sebagainya. Mereka sudah menduga bahwa kejahatan mereka selama ini kepada Nabi akan beurujung kepada kematian. Tiba-tiba Nabi mengatakan kepada mereka semua ,”Yaa ma’syaral quraisy !!! maadza tarauna ’anni faa’ilun bikum???”, wahai orang-orang quraisy, apa yang kalian duga tentang apa yang akan keperbuat kepada kalian hari ini?, ucapan ini bagaikan petir, menambah kekhawatiran mereka, namun nabi menjawab langsung dengan ucapan yang sejuk, santun dan penuh dengan bahasa kasih sayang, ” idzhabuu fa antum at thulaqaa”, pergilah kalian , karena kalian telah aku bebaskan. Anda perhatikan, manusia agung ini, ketika beliau telah memiliki kekuatan, kekuasaan dan sekaligus legalitas untuk membunuh mereka, namun keputusan beliau akan senantiasa menjadi buah bibir sejarah, yah inilah yang kita sebut dengan ”serangan kedamaian”.

Mau apa setelah puasa...?

Mau apa setelah Ramadhan...?
drg.Syukri Wahid (ketua DPD PKS Balikpapan)


Siap ataupun tidak siap, bulan ramadhan yang penuh dengan pesona keberkahannya telah meninggalkan kita. Penyesalan memang selalu ada diakhir bukan diawal, kini mulailah setiap kita memutar pita rekaman ramadhan, ternyata barulah kita sadar bahwa tidak banyak yang terekam disana, masih banyak yang kosong dalam “pita rekaman” ibadah, infak, do’a, dzikir, berbuat baik dan lain-lain, mengapa kemarin tidak kita penuhi semua isi “pita waktu” ini dengan amal yang berkualitas & berkuantitas.
Kurikulum pendidikan ramadhan selama sebulan penuh diharapkan dapat memberi bekas dalam kepribadian kita, agar semua target-target ibadah menjadi karakter yang kuat dalam struktur kepribadian kita, yaitu takwa. Nabi SAW pernah menunjuk dada beliau sebanyak tiga kali sambil berkata,”at takwa haa hunaa”, takwa itu disini. Hal ini sekaligus memberikan sebuah efenisi sederhana bahwa takwa adalah kumpulan nilai-nilai kebaikan yang melembaga dalam diri kita.
Suatu saat Umar bin khattab ditanya oleh sahabatnya tentang apa itu takwa?, beliau tidak langsung menjawab, namun balik bertanya kepada sahabat tersebut, ”pernakah dirimu berjalan disebuah jalan yang penuh dengan duri ?, sahabat tersebut menjawab, ”ya, pernah”. Bagaimana caramu berjalan ditempat seperti itu, tanya Umar bin khattab. Sahabat tersebur menjawab:” Demi Allah aku akan sangat berhati-hati, agar kakiku tidak mengenai duri tersebut”, Umar berkata:” itulah takwa sahabatku. Sebuah analogi sederhana tentang takwa, dia adalah ma’rifah (pemahaman) dan juga kehati-hatian, dia adalah semangat menjalankan ketentuan Allah dan juga semangat untuk tidak tergelincir kedalam lembah kemaksiatan.
Setidaknya ada 3 komitmen untuk mempertahankan stabilitas takwa kita, agar kita mampu merawat pesona takwa kita, agar ia mampu menghiasi kepribadian kita.

pertama Komitmen moral atau spiritual
Ini adalah sebagai dasar gerak kita, dia adalah pemicu sekaligus pemacu amal kita, tidak ada yang mendorong kita melakukan aktivitas kehidupan kecuali dia lahir dari semangat dan bimbingan iman. Sudah barang tentu dengan iman yang dinamis, yaitu iman yang menggelora dalam hati kita, iman yang menggelombang dalam kepribadian kita, yang mendorong seseorang untuk senantiasa bearada dalam koridor amal saleh. Betapa tidak selama ramadhan kita melihat setiap orang, keluarga dan masyarakat tiba-tiba menjadi masyarakat yang moralis dekat dengan agama, rumah-rumah Muslim terdengar bacaan qur’an, Masjid-masjid padat dengan jama’ah, pendek kata kita jadi masyarakat religius. Salah satu ciri masyarakat moralis itu adalah mereka merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan mereka. Selama puasa kita berkomitmen untuk tidak menyentuh makanan & minuman mulai fajar hingga magrib, padahal itu semua kita peroleh dengan halal, istripun telah menjadi halal milik kita. Namun apa yang membuat kita tidak melanggarnya, walau mungkin ditempat itu cuma ada kita sendiri, jawabnya adalah karena kita tahu ada Allah yang lihat kita. Alangkah baiknya jika semangat Maiyyatullah atau merasa dipantau Allah selalu ada dalam setiap aktivitas kehidupan kita, maka mustahil akan ada pencurian apalagi Korupsi . Karena puasa mengajarkan kepada kita sebuah kaidah sederhana bahwa yang halal saja yang kita punya kita tidak berani memakannya, maka apalagi yang haram.
Coba kita bayangkan jika semangat ini tertanam kuat dalam pribadi masyarakat, apakah dia rakyat biasa apalagi pejabat Negara, sudah barang tentu akan menjadikan Negeri ini sejahetra Insya Allah. Tidak salah memang ketika salah seorang ekonom Indonesia mengatakan bahwa,” tidak ada lagi teori-teori ekonomi yang bisa menjelaskan permasalahan ekonomi Indonesia”. Kalau hanya sekedar membangkrutkan negara, kita tidak perlu seorang Doktor atau Profesor di Negeri ini. Ketinggian ilmu tanpa adanya ketinggian moralitas akan menuju kepada kerusakan.
kedua, adalah komitmen amal ibadah.
Bulan Ramadhan telah berhasil memicu sekaligus memacu kita untuk beramal ibadah, mulai dari kita sholat tarwih, tahajjud, membaca Al quran, dzikir, doa, bersedekah dan lain-lain. Kurikulum ibadah puasa begitu padat, namun kita begitu menikmatinya, karena dibalik kepadatan itu Allah memberikan ganjaran pahala yang sangat besar. Setiap amal sunnah diganjar wajib, yang wajib akan dilipatgandakan 70 kali samapi 700 lipat dan masih banyak lagi. Setelah Ramadhan seharusnya kebiasaan amal ibadah tersebut tetap kita jaga dan dipertahankan, jangan sampai Al quran yang selalu kita baca selama ramadhan , mulai kita masukan dia kedalam lemari lagi, jangan sampai masjid-masjid kita kembali kosong , jangan sampai malam-malam kita sudah tidak ada lagi yang menegakkan sholat tahajjud & tidak terdengar lagi lantunan doa-doa panjang kepada Allah. Jangan sampai tangan yang sudah ringan mengeluarkann infak dan sedekah selama Ramadhan sudah mulai berat lagi untuk memberi.

Komitmen Ketiga adalah komitmen Sosial.
Ibadah ramadhan tidak menginginkan kita menjadi orang yang menikmati kesalehannya sendiri saja, tapi kita juga harus bisa menularkan kesalehan kita bagi orang lain. Betapa puasa mengajarkan kita untuk peduli dengan nasib orang lain, kalau menahan lapar 12 jam saja kadang membuat fisik kita gemeteran, bagaimana dengan saudara kita yang tidak makan 1 atau 2 hari, untuk makan hari ini saja mereka tidak jelas apalagi untuk besok harinya. Alangkah celakanya mereka yang berpuasa tetapi justru tidak dapat mengambil pelajaran ini. Dan mengertilah kita mengapa ibadah puasa kita disempurnakan dengan membayar Zakat didalamnya. Ini pertanda kesalehan pribadi kita tidak akan sempurna sampai kita juga memiliki kesalehan sosial. Karena dengan zakat selain kita membersihkan harta kita dari hak orang lain, juga dengan harta zakat itu dapat membantu saudara-saudara kita yang tidak mampu untuk berbahagia pada hari ini. Sebagaimana Sabda Rasulullah ” Khairunnas anfa’ahum linnas” artimya sebaik-baik manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia yang lain.
Mudah-mudahan tiga langkah sederhana ini dapat menjaga nilai-nilai iman & ketakwaan kita, agar langkah komitmen ini bagaikan air yang memberikan kesejukan pada iman dan dia juga seperti sinar cahaya matahari yang memberikan gelora pada iman kita. Allahumma amiin, taqobbalallahu minna wamingkum.

Diantara dua kemenangan

Diantara dua kemenangan
Catatan yang tersisa dari perang Badar

drg.Syukri Wahid, (ketua DPD PKS Balikpapan)

Ada pesona kegembiraan yang begitu mendalam yang tidak mampu disembunyikan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat dalam perjalanan pulang menuju Madinah setelah 18 hari lamanya meninggalkan kota tersebut. Mereka memang memiliki alasan untuk bergembira pada saat itu, yang pertama adalah karena mereka baru saja memenangkan pertempuran yang sangat dramatis melawan musyrikin Quraisy dalam perang badar kubra, yang kedua karena itu kali pertama mereka mendapatkan ganimah (harta rampasan perang) & tawanan dalam jumlah yang banyak, yang ketiga karena mereka pulang kembali ke madinah dan disaat itu telah memasuki 10 terakhir bulan puasa tahun 2 H.
Kepergian 314 kaum muslimin sejak tanggal 8 ramadhan 2 H pada saat itu untuk sebuah tujuan yaitu menghadangi kafilah dagang Abu sufyan yang baru saja pulang dari Syam atau Damaskus menuju kota makkah. Kaum Muslimin berangkat tanpa memiliki niat untuk berperang, hal ini dibuktikan dengan jumlah pasukan yang sedikit, hanya diiringi 2 ekor kuda, pedang dan panah secukupnya, sebuah kekuatan yang hanya cukup untuk ”menakut-nakuti” rombongan dagangnya Abu sufyan .
Tapi Allah SWT punya keinginan lain, bahwa niat kaum Muslimin untuk bertemu dengan kafilah dagang Abu sufyan ” yang sangat menggoda untuk direbut” tidak kesampaian, tapi justru mereka dipertemukan dengan pasukan besar Quraisy sejumlah 1000 pasukan yang dipimpin oleh Abu jahal dengan dukungan logistik dan persenjataan yang lengkap.Pertempuran yang dahsyat itupun terjadi dan diluar dugaan kaum muslimin berhasil mangatasi pasukan musuh dan memukul mundur mereka dari medan badar, dan kaum musliminpun mendapatkan kemenangan gemilang.
Kemenangan tersebut dibayar mahal oleh para sahabat dengan harga kesabaran mereka yang tinggi dalam jihad tersebut, sehingga Allah SWT tergoda untuk menolong kaum muslimin dalam perang tersebut dengan bantuan malaikat yang turun dari langit dalam jumlah 5000 personil malaikat. Kesabaran adalah kata kunci yang menyebabkan kemenangan kaum muslimin, sabar adalah cara paling baik untuk merayu Allah agar pertolongan-Nya diturunkan kepada kaum muslimin, dan puasa dibulan Ramadhan adalah alat yang paling efektif melahirkan sifat sabar tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,”as shiyaam nisfus shabr”, puasa itu adalah setengah dari kesabaran.
Namun ditengah kemenangan yang baru saja didapat, kaum muslimin bertambah bahagia lagi karena masih dapat ”pesona ramadhan” dipenghujungnya, maklumlah karena sejak awal ramadhan para sahabat harus melewati puasa dengan penuh ketegangan menghadapi musuh, sehingga seluruh waktu mereka tersedot untuk bersiap siaga dimedan tempur. Betapa gembiranya mereka karena dapat merasakan penghujung ramadhan yang tersisa dengan damai melalaui i’tikaf di masjid bersama Rasulullah SAW sepulang dari perang badar, mereka begitu menikmatinya seakan-akan mereka baru ”memulai” awal ramadhan.
Inilah yang kita sebut dengan kemenangan berlapis-lapis, bahwa malam-malam yang penuh berkah itu mampu menyempurnakan kemenangan mereka, kemenangan dimedan badar adalah kemenangan di alam fisik, namun memaksimalkan hari-hari diujung ramadhan adalah untuk mengejar kemenangan dialam jiwa, disanalah medan pertarungan itu sejatinya, jauh lebih luas medan pertarungan dialam fisik, karena ini masalah melawan ”gejolak-gejolah syahwat” didalam jiwa, bahwa memenangkan rasa berani atas rasa takut, menangnya rasa bisa dari ketidakberdayaan, menangnya rasa optimisme dari rasa pesimisme dan seterusnya.
Karna itu adalah puasa dan juga i’tikaf perdana, ketika memasuki fajar 1 Syawal 2H itu adalah lebaran perdana mereka. Betapa sempurnanya kemenangan itu. Mereka memakai jiwa-jiwa baru yang akan menulis tinta emas sejarah manusia-manusia unggul diatas bumi ini. Ketika mereka berangkat menuju lokasi sholat idul fitri, Nabi meminta sahabat untuk sholat di tanah lapang, bahkan Nabi menyuruh untuk jalan pergi dan pulang dari lokasi sholat ied dengan jalur yan berbeda, untuk apa pembaca sekalian,,, yah agar orang semua melihat sedang ada ”karnaval jiwa-jiwa baru”.
Selamat meraih kemenangan sejati, kemenangan didalam jiwa kita, jiwa fitri nan bersih.

iedul fitri ditangan orang-orang yang menag

” Iedul fitri ditangan orang-orang yang menang ”
(Sedikit catatan dari perang Uhud tahun 3 H)
drg.Syukri Wahid

Dua hari sebelum masuknya idul fitri 1 Syawwal tahun 3 H di kota madinah, Nabi Muhammad SAW dikejutkan oleh sebuah kabar yang diperoleh dari ”intelejen” beliau di kota Makkah yaitu Abbas bin Abdul Muthalib, bahwa kaum musyrikin Quraisy baru saja berangkat meninggalkan Makkah menuju Madinah dengan membawa 3000 pasukan, 3000 unta, 200 penunggang kuda, 700 pasukan berbaju besi serta tidak lupa mereka menyertakan wanita-wanita mereka. Pasukan sebesar itu dimodali oleh seluruh keuntungan kafilah dagang yang dipimpin Abu sufyan ke negeri Syam sebesar 1500 dinar. Satu-satunya alasan mengapa mereka memobilisasi pasukan sebesar itu adalah untuk ”membalas dendam” kekalahan mereka di perang badar tahun lalu, tepatnya bulan Ramadhan tahun 2 H.
Keadaan madinah menjadi siaga satu dimalam menjelang lebaran pada saat itu, bukan karena sahabat, seperti kita ”menyiapkan ketupat” atau makanan untuk jelang lebaran esoknya, melainkan karena Nabi langsung melakukan langkah-langkah taktis dan strategis untuk menghadapi pasukan besar itu dalam waktu secepat mungkin, karena pasukan Makkah diprediksikan akan tiba sekitar tanggal 5 atau 6 syawwal. Idul fitri saat itu dilewati Nabi dan para sahabat dalam keadaan genting, namun tetap syahdu, tetap nampak diwajah-wajah mereka pesona kemenangan, bahkan keadaan tersebut semakin memperkuat keimanan mereka.
Selepas sore hari sabtu tanggal 7 Syawwal 3 H, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat baru saja pulang dari penguburan 70 pahlawan syuhada Uhud setelah berperang seharian penuh dihari itu, nampak kesedihan yang tidak bisa beliau sembunyikan, karena harus kehilangan 70 orang terbaik dari pengikut beliau, lebih khusus gugurnya Hamzah bin Abdul muthalib sang paman dan Mushab bin umair sang duta da’wah pertama yang diutus Nabi ke madinah. Dalam perang uhud ini kaum Muslimin mengalami ”kekalahan”, tapi itu adalah skenario dari Allah SWT supaya sejak awal kaum muslimin memiliki pengalaman pernah menang dan pernah kalah dalam kehidupan peradabannya, bahkan Allah menurunkan kurang lebih 80 ayat disurat ali imran untuk menjelaskan perang yang satu ini, tidak sebanyak ayat yang diturunkan diperang badar ketika kaum muslimin mendapat kemenangan. Allah menghibur sahabat dengan kalimat dalam ayat 140 surat ali imran, ”Kalau kalian hari ini mendapatkan luka (kalah), maka ingatlah mereka juga pernah mendapat luka yang sama pada waktu yang lalu (perang badar), demikianlah hari-hari itu (menang & kalah) kami pergilirkan diantara manusia...”
Ayat ini menjelaskan tentang sebuah siklus dalam kehidupan yang senantiasa akan bergulir, yaitu menang dan kalah, sukses dan gagal dan seterusnya, merupakan sunnah tadawwul atau sunnah pergiliran.
Pertempuran tersebut terjadi diawal bulan syawwal, itu adalah lebaran beliau yang kedua sejak disyariatkannya berpuasa,berbeda dengan lebaran tahun lalunya, dimana para sahabat baru saja pulang dari perang badar dengan membawa kemenangan. Tahun ini mungkin adalah lebaran yang telah kesekian kalinya bagi kita, mungkin kita sedang hangat-hangatnya saling bersilaturahim bersama saudara, kerabat dan tetangga untuk saling bermaaf-maafan, namun berbeda yang terjadi di jaman beliau pada waktu itu, energi yang selama ini mereka kumpul dan dapatkan dibulan ramadhan langsung ”tersalurkan” pada jalan jihad. Bagi para sahabat energi kebaikan tersebut sebanyak mungkin di salurkan dijalan kebaikan, dan puasa telah mengajarkan mereka seperti itu.

Hakikat Kekalahan
Dari sejarah diatas, kalah bukanlah akhir dari segalanya, namun hakikat kekalahan adalah ketika potensi kebaikan kita sudah tidak bisa lagi bangkit untuk mendominasi serta membimbing akal, jiwa dan pikiran kita, agar senantiasa berada pada ”jalur-jalur kebaikan” , dimana iman sudah tidak lagi bisa mencari jalan keluar untuk mendorong seorang pribadi muslim untuk beramal yang baik. Atau kalau dalam dunia ring tinju, seorang petinju dikatakan KO jika dia tidak bisa lagi bangkit dari jatuhnya, dia tidak lagi bisa berdiri, bukan jatuhnya itu sendiri, namun tidak dapat berdiri dari kejatuhan, itulah kekalahan.
Idul fitri harusnya kita sikapi dengan mentalitas sang juara, karena kita baru saja keluar dari padepokan ramadhan, dipinggang kita telah melingkar sabuk takwa yang tidak boleh ada yang merebutnya dari kita, dia adalah simbol sekaligus prestise kita dihadapan Allah SWT, sebagaimana Allah berfirman dalam surat al hujurat ,” Inna akramakum ’indallahi at qaakum” ,sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang bertakwa.
Renungilah sejarah diatas betapa Rasul dan sahabat-sahabat adalah orang-orang yang menyegerakan perintah Allah SWT, meskipun mengalami kekalahan menurut mereka, namun Allah menilai itu adalah kemenangan, bahkan kalianlah yang paling tinggi jika kalian beriman. Sehingga menjadi penting bagi kita adalah bagaiman kita mengelola kekalahan dengan iman, sebagaimana kitapun mengelola kemenangan dengan iman, bukan dengan nafsu emosi.
Pernah Umar bin khattab ditanya tentang apa itu takwa, beliau malah balik tanya kepada sahabat yang bertanya, ”pernakah dirimu berjalan disebuah jalan yang penuh dengan duri yang tajam? Sahabat tersebut menjawab, ”ya , pernah ”, umar berkata,” bagaimana engkau berjalan ditempat seperti itu ?, sahabat tersebut menjawab, ” Demi Allah aku akan berjalan sangat hati-hati, agar kakiku tidak mengenai duri tersebut”, lantas Umar bin khattab berkata,” Itulah takwa”. Selamat ’iedul fitri, selamat memakai baju takwa, bajunya orang-orang yang langsung menyalurkan energi kebaikannya disetiap lorong kehidupan.