napak tilas

napak tilas
by Syukri Wahid

Rabu, 03 Desember 2014

Akibat 3 darah yang tumpah...(bagian 1)

(sebuah tinjauan sejarah awal penyimpangan syiah)

 

Tiga orang itu.
    Tiga darah yang telah tumpah dari pribadi yang agung ini telah menjadi titik simpang sejarah Islam dari dulu sampai hari ini, yaitu ;
1. Darah khalifah Utsman bin Affan ra.
2. Darah khalifah Ali bin Abi thalib ra.
3. Darah Husain bin Ali ra.
Semua literatur akan membahasnya dari sudut yang berbeda tergantung dari intrepretasi yang diberikan kepada fakta sejarah itu dan  hal itu adalah  sah-sah saja,  apatah lagi dengan sudut pandang  kaum Syi’ah yang tak mungkin terlepas dari pembahasan tiga tokoh tersebut. Perlu kita tegaskan kembali bahwa sejak awal sebenarnya  Syiah itu murni merupakan gerakan politik yang menyokong utama kepemimpinan  Ali bin Abi thalib ra, sebelum dia kemudian bergeser menjadi penyimpangan gerakan akidah dan lain-lain.
            Bagi kaum muslimin khususnya yang berasal dari keluarga bani Umayyah , salah satu tugas besar khalifah Ali bin Abi Thalib ra yang pertama kali harus dilakukan saat menjabat khalifah adalah  sesegera mungkin menegakkan hukum Qishas kepada para pembunuh khalifah Utsman ra, namun  sampai wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib ra ,beliau belum sempat menegakkan hukum tersebut.  Hal itu yang menyebabkan luka bagi bani Umayyah atau klan dari keluarga Ustman bin Affan ra. Tidak mengherankan sejak wafatnya beliau bermunculah tuduhan dan cacian kepada beliau, seakan-akan melindungi pembunuh khalifah Utsman ra. Siapakah yang membunuh beliau ?, mengapa mereka membunuh Utsman ra ?, dan mengapa khalifah Ali ra tidak menegakkan hukum Qishas kepada para pembunuh Utsman ra ?, semua tentu ada jawabannya.
          Saat khalifah Ali bin Abi Thalib ra dibunuh di Kuffah, itu juga menjadi titik krusial dalam semua literatur yang membahasnya tentang motif dan latar belakangnya, namun kubu yang kecewa terhadap khalifah Ali bin Abi thalib ra bukan saja dari keluarga Utsman bin Affan ra  yaitu bani Umayyah, melainkan juga muncul dari mantan pendukung setianya, yaitu mereka yang dinamakan dengan kaum Khawarij, setelah mereka  resmi keluar dari kubu Ali bin Abi Thalib ra saat perang Siffin tahun 37 H. Kaum khawarij kemudian menyalahkan pihak Ali bin Abi Thalib ra dan juga pihak Muawiyah ra , bahkan mereka mengkafirkan keduanya  .Perang Siffin berujung pada proses arbritase atau Tahkim diantara keduabelah pihak.  Dinamakan kaum  Khawarij yang berarti “ keluar “ , secara istilah mereka yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib ra saat itu.
      Khawarij tidak menerima keputusan tersebut, mereka menyesalkan mengapa khalifah Ali ra mau menyetujui proses Tahkim dan akhirnya mereka membuat madzhab politik sendiri dengan semboyan utamanya  adalah "laa hukmu illallah " yang artinya adalah  tidak ada hukum melainkan hukumnya Allah swt. Referensi yang paling kuat  tentang siapa  pembunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib ra adalah seorang yang berfiliasi pada kaum Khawarij.

Kondisi dilematis.
   Sampai disini , saya ingin membawa pikiran dan perasaan kita semua tentang kondisi politik yang sulit kala itu, bisa kita bayangkan bagaimana khalifah Ali bin Abu thalib ra berada pada posisi yang dilematis karena beberapa alasan sebagai berikut:
1.     Pertama tuntutan dari bani Umayyah diawal beliau menjabat adalah menuntut darah Utsman ra yang "para pembunuhnya" berada dan berlindung dibalik  Ali bin Abi Thalib ra. Karena fakta yang terjadi adalah ribuan orang yang mengepung rumah khalifah Utsman ra selama berhari-hari sehingga berujung kepada terbunuhnya beliau. Setelah itu berbondong-bondong mereka segera mendatangi Ali ra dan langsung membaiatnya. Sejak awal beliau sadar kondisi ini akan menjadi fitnah besar, seakan-akan beliau melindungi pembunuh Utsman ra atau memang itu strategi yang dipakai oleh para pembunuh khalifah Utsman ra untuk "cuci tangan" dibalik Ali bin Abu Thalib ra.

2.     Para gubernur yang tergolong senior kala itu adalah Muawiyyah bin Abi Sufyan ra, beliau adalah sahabat Rasulullah saw kendati masuk Islamnya dibelakang. Faktanya adalah beliau telah menjadi gubernur Syam atau Damaskus sejak zaman khalifah Abu bakar ra, jadi walaupun khalifah sudah 3 kali berganti namun posisinya sebagai gubernur Syam tak tergantikan.
Kebijakannya saat memimpin disana sangat disukai oleh warga Syam, itu yg menjadi salah satu motif juga mengapa Khalifah  Umar bin Khattab ra dan Utsman bin Affan ra. tak menggantikan posisinya, sehingga bisa kita katakan bahwa wilayah Syam atau Damaskus menjadi basis utama dukungan politik bagi Muawiyyah bin Abu Sufyan ra dan masalah menuntut darah Utsman ra sudah  melebar menjadu isu politik di kota Syam, bukan lagi sekedar masalah nasab bani Umayyah saja, tapi menjadi isu politik terhadap khalifah yang dianggap tidak menegakkan hukum Qishas sehingga melahirkan ancaman delegitimasi terhadap khalifah.

3.   Isu  mengenai darah Utsman bin Affan ra membuat para sahabat juga terbelah tentang ijtihad dalam menyikapinya. Termasuk Ummul Mukminin bunda ‘Aisyah ra  yang berijtihad bahwa Ali bin Abi Thalib ra wajib menghukum pembunuh utsman bin Affan ra  dan mengertilah kita suatu saat mengapa meletus perang Jamal atau perang Unta antara beliau dengan Ali bin Abi Thalib ra adalah disebabkan sikap beliau tentang masalah ini. Namun beberapa sahabat juga ada yang mendukung kebijakan Ali ra, bahwa integritas khilafah harus diatas segala-galanya, pemerintah harus jalan tanpa perlu di dikte, seperti sahabat 'Ammar bin yasir ra , jadi masalah ini menyeret beberapa sahabat dalam perbedaan pendapat.
Meletusnya perang Siffin harus kita terima secara akal sehat dikarenakan karena perbedaan ijtihad ini. Kubu Muawiyyah ra merasa khalifah tidak menegakkan hukum qisas atas kematian Utsman ra dan pihak Ali ra menggap institusi khilafah harus tegak dan terhindar dari rongrongan internal dan semua ancaman bughot kepada pemerintaan yang sah harus dilawan. Itulah perang yang menyedihkan dalam sejarah peradaban Islam, saya tak jarang menangis baca kisah ini, betapa tidak korban yang meninggal mengalahkan jumlah total pasukan kafir selama berperang di jaman Rasulullah saw masih hidup. Ini justru korban sahabat dikedua belah pihak banyak yang terbunuh.

4.   Munculnya faksi politik baru yaitu kaum Khawarij, membuat barisan Ali ra sedikit melemah dan terguncang. Mereka kecewa dengan khalifah  Ali  bin Abu Thalib ra yang dianggap “mau menyerah” kepada pihak Muawiyah  ra. Akhirnya mereka membangun kekuatan di daerah Bashrah,  dengan alasan memurnikan agama mereka mengkafirkan semuanya dan tidak segan-segan membunuh yang bukan segolongan dengan paham mereka.

Masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib ra hanya bertahan 5 tahun lebih, beliau terbunuh di bulan Ramadhan pada tahun 40 Hijriah di kota Kuffah. Paska wafatnya beliau, kondisi politik yang kita telah bahas belum berubah.  Warga Kuffah langsung membaiat cucu Rasulullah saw yaitu Hassan bin Ali ra sebagai khalifah  di Kuffah saat itu, sedangkan warga kota Syam  juga membaiat Muawiyyah bin Abu Sufyan ra sebagai khalifah.
Dan itu adalah sejarah pertama kaum muslimin memiliki dua orang khalifah bersamaan, bagaimana dengan kota Madinah dan Makkah saat itu?. Dua kota suci memang setelah wafatnya Rasulullah saw, beberapa sahabat ada yang memilih menetap di Madinah dan Makkah, namun ada juga yang pindah juga dibeberapa daerah diluar kota tersebut.  Di Makkah ada sahabat Abdullah bin Zubair ra yang juga didorong untuk menjadi khalifah. Disana juga tinggal bunda Aisyah ra, tapi dua kota suci relatif gejolak politiknya tidak sedinamis kota Kuffah dan Syam. Beberapa sahabat memilih pindah dari Madinah, karena mereka melihat " pembunuh " Utsman ra dominan bahkan mereka sholat di Masjid Nabi saw.

Dualisme Khalifah.
Atas pembaiatan dua khalifah tersebut turut menuai konflik perbedaan prndapat dikalangan beberapa sahabat, beberapa diantaranya pro ke Muawiyyah ra dan lainnya mendukung Hassan ra. Namun dalam penguasaan komunikasi politik, Muawiyyah ra jauh lebih handal dari Hassan ra, ini terbukti Muawwiyah ra jauh lebih dahulu mendatangi Madinah dan meminta para sahabat Rasulullah saw yang tinggal disana untuk membaiatnya. Muawiyyah ra jauh lebih menguasai kekuatan militer ketimbang Hassan ra yang lebih didukung karena dorongan emosianal warga Kuffah, namun belum tentu dengan militernya yang kalah jauh dengan Muawiyyah.
Selama 6 bulan lamanya kaum Muslimin hidup dengan dua orang khalifah sekaligus, Muawiyah ra dan Hassan ra, maka selama itu pula suasana politik semakin tegang dan dikuatirkan bermuara ke pertumpahan darah sesama muslimin. Ditahun 41 H, akhirnya Hassan bin Ali ra cucu Rasulullah saw mengundurkan diri sebagai khalifah setelah beliau mengajukan syarat kepada Muawiyah, diantaranya adalah beliau memilih kembali tinggal di Madinah dan jangan ada yang mencaci ayahnya, karena dikeduabelah pihak tak terhindar saling mengejek baik lewat khutbah atau ceramah.
Kendati Hussen ra kecewa dengan keputusan saudaranya, namun Hassan ra berijtihad dengan akal sehatnya karena melihat kedepan konflik ini bisa menumpahkan darah lebih banyak lagi dari perang Siffin dan Jamal. Dikemudian hari, orang baru memuji sikap ini dikarenakan maslahat yang diperoleh secara umum. Inilah yang pernah dijanjikan Rasulullah saw :
“Sesungguhnya cucuku ini adalah seorang sayyid, mudah-mudahan dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslimin yang bertikai.” (HR. Al Bukhari)
Dalam hadits di atas juga bisa dimaknai bahwa baik kelompok Ali ra. maupun kelompok Mu'awiyah ra. pada masa itu adalah sama-sama Muslim.
Maka tahun 41 H disebut sebagai 'aam jama’ah disebabkan tahun itu sebagai tahun persatan dan berjamaah sehingga kaum muslimin hidup kembali dalam satu naungan khalifah. Walau demikian warga Kuffah yang menjadi sentral pendukung Ali ra tidak sepenuhnya bisa menerima kenyataan tersebut, kendati Hassan ra dan Hussen ra pada akhirnya meninggalkan Kuffah dan memilih kembali tinggal di kota Madinah, tetapi tetap saja warga kuffah masih selalu melakukan korespondensi dengan beliau. Kaum Khawaarij tetap saja dengan agenda mereka, membagun kekuatannya dan tidak peduli dengan khalifah yang terpilih, bagi mereka tetap saja bathil dan yang lebih layak adalah mereka.

Masa Khilafah Rasulullah saw.
Hassan bin Ali ra hanya menjabat sekitar 6 bulan saja menjadi khalifah dan memilih mundur dari dunia politik kala itu. Sampai disini sebelum kita lanjutkan, ada hal yang perlu kita ambil benang merah sebagai berikut :
Dari Sa'id bin Jamhan, dari Safinah ra , Rasulullah saw bersabda : " sesungguhnya Khilafah Kenabian itu 30 tahun, dan kemudian Allah akan berikan kerajaan kepada yang Dia kehendaki". Safinah berkata kepadaku, "Abu Bakar 2 tahun, Umar 10 tahun, Utsman 12 tahun, dan sisanya Ali". Aku berkata kepada Safinah, "Sesungguhnya mereka bilang kalau Ali bukanlah Khalifah". Safinah berkata, "Bani Zarqa' (Bani Marwan) telah berbohong", (HR. Ahmad).
Jadi sejak zaman khalifah Abu bakar ra sd Ali bin Abi Thalib ra jumlah total masa pemerintahan mereka adalah 30 tahun kurang 6 bulan, lalu beberapa ulama mencatat masa 6 bulan Hassan ra masuk dalam kategori khalifah Rasulullah saw. Jika kita hitung sejak Rasulullah saw wafat dan Abu bakar ra diangkat jadi khalifah pada awal tahun 11 Hijriah sampai terjadinya tahun jama'ah pada 41 Hijriah, maka tepat 30 tahun jaraknya, ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw tersebut, Subhanallah.
Setelah berhasil menyatukan kaum muslimin dalam satu naungan kekhilafan, maka Muawiyyah ra mulai melakukan berbagai kebijakan politiknya, tidak sedikit kebijakannya yang dikritisi oleh publik saat itu. Diantara kebijakan yang kontroversial saat itu adalah tiba-tiba beliau mendeklarasikan kandidat khalifah setelahnya yang tidak lain adalah anak kandungnya Yazid bin Muawwiyah.
Membuat para sahabat bereaksi keras, bagaimana mungkin masih ada khalifah lantas sudah ada khalifah berikutnya yang harus di baiat. Apalagi salah satu komitmen Muawiyyah ra saat itu adalah ketika beliau jadi khalifah dan setelahnya beliau menyerahkan urusan kepada publik untuk menentukan khalifah setelah dirinya. Maka sejak itulah fase baru dalam politik Islam khilafah dalam bentuk sistem kerajaan dimulai dan itulah awal dinasti bani Umayyah berdiri, ini sesuai dengan hadits diatas tadi, setelah nubuwwah, khilafah kemudian kerajaan.
Yazid bukanlah kategori sahabat Rasulullah saw, masih ada sahabat senior yang masih hidup kala itu, seperti Abdullah bin Umar di Madinah, Abdullah bin Zubair di Makkah yang menurut publik lebih layak dari seorang Yazid bin Muawiyyah. Inilah yang juga menjadi potensi konflik dikemudian hari, kendati beberapa literatur mengungkap apa alasan Muawiyyah mengambil sikap seperti itu.
Muawiyah ra sadar bahwa langkah politiknya akan dikecam banyak oleh sahabat, namun dia berkeyakinan bahwa suatu saat kelak mereka akan bisa menerimanya. Saat Muawiyyah ra wafat pada tahun 60 H, maka anaknya Yazid bin Muawiyah menggantikannya sebagai khalifah. Yazid memang memiliki catatan buruk, namun beberapa ulama berusaha obyektif memasukannya berdasarkan hadits Rasulullah saw :
أول جيش من امتي يغزو مدينة قيصر مغفور لهم
Pasukan pertama dari ummatku yang menyerang Konstantinopel itu diampuni dosanya (HR Bukhari).
Yazid bin Muawiyah  adalah panglima dalam perang tersebut yang dikirim ke Konstantinopel dan menariknya Hassan dan  Hussen ra juga ada dalam pasukan yang dipimpin oleh Yazid tersebut. Saat Yazid menjadi khalifah, suhu perpolitikan di tiga kota khususnya menjadi memanas. Apatah lagi masih ada tiga figur utama yang menurut sebagian besar publik masih lebih layak untuk menjadi khalifah. Abdullah bin umar ra, Abdullah bin Zubair ra yang sejak awal lebih memilih oposisi dari awal dan Hussen bin Ali ra cucu Rasulullah saw.
Gubernur Madinah Marwan bin al hakam yang terkenal lembut secara khusus mendatangi Hussen ra agar memintanya segera membaiat Yazid. Sedangkan Abdullah bin Umar ra adalah bukan orang "politik" sehingga beliau lebih memilih membaiat Yazid dan setelah itu berkonsentrasi beribadah dan mengajarkan ilmu.
Hussen ra meminta waktu dan akhirnya beliau pindah tempat dari Madinah ke Makkah dan disana sudah ada Abdullah bin zubair ra yang memang bersebrangan ijtihad politik sejak awal dengan Muawiyah. Mendengar Hussen ra pindah ke Makkah, orang-orang Kuffah yang sejak awal adalah pendukung setia Ali bin Abi thalib ra merasa senang dan menganggapnya sebagai peluang untuk meminta menjadi khalifah dan warga Kuffah akan siap membaiatnya.Pendek kata warga Kuffah merasa ada peluang untuk mengangkat beliau sebagai khalifah dan korespondensi warga Kuffah sering melalui surat-surat mereka ke Hussen ra di Makkah.

Tragedi Karbala
Hussen ra berpindah ke Makkah beserta keluarganya, setelah beliau meminta waktu atas permintaan gubernur Madinah untuk membaiat Yazid. Adalah satu hal yang bisa kita pahami beliau melakukan itu. Bahwa kesepakatan antara Muawiyah ra dengan Hassan ra terdahulu adalah jika nanti Muawiyah turun tahta karena berhalangan menjadi khalifah maka akan diserahkan kepada Hassan ra, dan atas pertimbangan lebih jauh lagi agar darah muslimin tidak tumpah, maka secara sukarela Hassan ra mengundurkan diri dan menyerahkan kepada Muawiyah ra.
Namun dalam perjalanannya Hassan ra lebih dahulu meninggal dunia di Madinah, kemudian Muawiyah mengangkat Yazid sebagai putra mahkota yang harus dibaiat sebagai penggantinya kelak dikemudian hari. Atas kebijakan itu banyak yang menolaknya, namun tidak sedikit pula yang menerimanya. Bahkan putra Abu bakar ra yaitu Abdur Rahman bin Abu bakar ra mengatakan kepada Muawiyah :
“Itu bukan sunnah Abu Bakar dan Umar, ini adalah sunnah kaisar!, Karena Abu Bakar dan Umar tidak pernah mewariskan khilafah kepada anak-anaknya, bahkan tidak pula kepada salah seorang keluarganya.”

Keengganan Hussen ra untuk tidak membaiat Yazid janganlah buru-buru kita cap sebagai pembangkang, karena biar bagaimanapun juga Hussen ra tidak bisa dilupakan dari  sejarah politik ayahnya yang pernah konflik dengan Muawiyah ayah Yazid dalam perang Siffin. Bukankah saat itu Ali adalah khalifah yang resmi?, dan bisa saja kita mengatakan Muawiyah melakukan bughat terhadap khalifah Ali ra ?. Sikap Hussen ra tersebut merupakan reaksi tanggung jawab moral beliau terhadap persoalan politik saat itu, Hussen ra berada dalam pusaran utama politik yang tidak mungkin beliau menanggalkan tanggung jawab tersebut.
Dua bulan beliau menetap di Makkah, ratusan surat dari warga Kuffah datang kepada Hussen ra yang intinya bisa kita simpulkan dari semua litetatur baik yg ditulis oleh Sunni dan Syiah sekalipun adalah warga Kuffah siap membaiat Hussen ra dan mendukung sepenuhnya menjadi khalifah, karena itu mereka meminta Hussen ra untuk datang ke Kuffah.
Tahun 61 H, akhirnya Hussen memutuskan dirinya untuk mendatangi warga Kuffah, padahal sahabat senior seperti ibnu Umar ra sampai menasihati Hussen ra, dengan ucapannya yang terekam dalam sejarah, " mereka memang secara haqiqi mencintaimu , tapi tangan mereka memegang pedang untuk bersama bani umayyah !". Ibnu umar ra sampai menangis dan memeluk Hussen ra karena sudah membayangkan situasi terburuk yang terjadi kala itu.
Apatah lagi setelah Hussen ra mengirimkan utusannya Muslim bin aqil ke Kuffah untuk melihat langsung apakah benar warga Kuffah siap membaiatnya. Dan Muslim bin Aqil mengirim surat ke Hussen ra bahwa Kuffah siap mendukungnya dan memintanya segera datang ke Kuffah.
Gubernur  yang membawahi wilayah Kuffah saat itu adalah Ubaidillah bin Ziyad, seorang pemuda berusia 28 tahun, pemberani dan cerdik dan dia adalah politisi yang handal.
Atas perintah Yazid bin Muawiyah yang telah mencium aroma pembelotan warga Kuffah untuk membaiat Hussen ra, itu artinya mendelegitimasi dirinya dan dia sadar persis institusi khilafah yang dipimpinnya tidak boleh pecah karena ada dualisme khalifah. Karenanya Ubaidilah dengan pasukannya diawal pagi masuk ke Kuffah dengan pakian hitam menutupi wajah mereka agar tak dikenal, ternyata memang warga Kuffah sudah  menanti-nanti kedatangan Hussen ra, rombongan Ubaidillah mereka sangka adalah rombongan Hussen ra.
Ubaidillah bin Ziyad masih belum puas mengenai informasi yang dia peroleh mengenai pembelotan warga Kuffah, dia ingin mencari tahu siapa otak dibalik semua rencana ini. Ibnu Ziyad kendati berpasukan hanya 17 oranga kala itu, namun mampu membuat gentar warga Kuffah.
Ibnu Ziyad menebar para spionase untuk mencari tahu semua itu dan menebar "teror emosional" kepada warga Kuffah apa yang kelak mereka dapatkan jika membaiat Hussen ra, ancaman akan dibunuh dan sebagainya yang membuat mereka ketakutan.
Hani' bin Urwa adalah tokoh dibalik rencana ini semua, dia adalah tokoh Kuffah yang sangat loyal kepada pemerintahan bani Umayyah namun dia juga sangat menginginkan Hussen jadi khalifah, dari sinilah istilah taqiyah itu muncul , walau sebenarnya sikap dualisme atau menyembunyikan keyakinan yang sebenarnya adalah praktek yang juga sudah ada dijaman Rasulullah saw.
Dalam waktu singkat Ibnu Ziyad bisa menundukkan warga Kuffah berbelok arah untuk menolak pembaiatan Hussen ra. Muslim bin Aqil utusan Hussen ra akhirnya ditangkap dan dibunuh oleh ibnu Ziyad, padahal keyakinan Hussen ra mendatangi Kuffah atas konfirmasi beliau.
Warga Kuffah yang tadinya menggebu-gebu datangkan Hussen ra untuk membaiat beliau menjadi "kalem" ketakutan. Apalagi Ibnu Ziyad sudah mengunci semua akses mereka. Kepada Yazid sang khalifah, ibnu Ziyad melaporkan semua dan meminta pengiriman bantuan pasukan perang untuk menghadapi rombongan Hussen ra yang sudah berangkat dari Makkah.
Maka khalifah Yazid mengirim pasukan dibawah kepemimpinan Umar bin Sa'ad bin Abi Waqqash, dia adalah putra sahabat Rasulullah saw yaitu Sa'ad yang terkenal sangat pemberani. Bersama 4000an pasukannya dia membawa misi khalifah Yazid untuk menahan Hussen ra untuk tidak masuk Kuffah.
Rombongan Hussen ra saat itu hanya terdiri dari 170an orang saja, yang lebih tepat disebut bukan pasukan perang. Seluduh ahlul bait ikut dalam kafilah tersebut. Mulai dari isteri beliau, anak-anak serta saudara-saudaranya. Sebab memang pada zaman bani Umayyah ahlul bait menjadi komponen yang termarginalkan dan mereka memilih tinggal di pelosok kota dan ada yang sampai ke Yaman dan generasi setelahnya sampai ke Indonesia juga.
Bertemulah pasukan Umar bin Sa'ad dengan Hussen pada bulan Muharram di daerah karbala. Umar bin Sa'ad tetap menaruh hormat yang tinggi pada cucu Rasulullah saw tersebut. Terjadilah dialog diantara keduanya, saat ditanya untuk apa beliau masuk ke Kuffah, maka Hussen ra menjelaskan secara gamblang yang pokoknya adalah warga Kuffah yang memintaku datang dan akan memberikan dukungannya padaku.

Dalam beberapa sumber juga beliau menjelaskan, bahwa aku hanya ingin mendatangi mereka dikarenakan banyaknya surat yang mereka kirim padaku. Umar bin Sa'ad juga mendapat perintah untuk menghadang beliu agar tidak masuk ke Kuffah.
Sa'ad menwarkan agar Hussen ra mau membaiat khalifah Yazid melalui dirinya, karena deadlock akhirny Hussen mengajukan 3 permintaan sebagai berikut :
a. Membiarkan dirinya pulang kembali ke Makkah.
b. Menemui dan berdialog langsung dengan Yazid dan biarlah Yazid memutuskan langsung diantara mereka berdua dan sesuai  apa-apa yang dikehendaknya.
c. Mengasingkan dirinya dan pengikutnya di daerah terasing dan membiarkan mereka beribadah saja tanpa terlibat politik.
Tawaran itu disambut  gembira oleh Umar bin Sa’ad, dia pikir misinya akan selesai. Akhirnya  U mengirim utusan kepada ibnu Ziyad menyampaikan permintaan Hussen ra tsb. Sambil menunggu jawaban dari ibnu Ziyad , Sa'ad pun sholat dibelakang Hussen ra karena segan dan hormatnya pada Hussen ra.
Umar bin Sa'ad beserta pasukannya masih bersiaga di karbala menunggu balasan surat dari Ibnu Ziyad atas opsi yang ditawarkan oleh Hussen ra, dan dalam masa penantian tersebut Umar sangat menaruh hormat yang tinggi pada beliau dan  menjadi makmum dari Hussen ra selama menegakkan sholat disana. Dapat kita lihat bahwa sama sekali tidak ada keinginan untuk berperang atau memerangi rombongan Hussen ra, namun dalam situasi lapangan seperti itu tetap saja kondisi terburuk bisa terjadi, dan memang kenyataannya itulah yang terjadi.
Saat Ubaidillah bin ziyad di Kuffah menerima surat dari karbala atas tawaran Hussen ra kepadanya, sebenarnya sudah setuju dengan opsi tersebut. Ibnu Ziyad membaca suratnya dan mengatakan :
" Ini adalah sebuah surat dari seorang pemberi nasehat bagi pimpinannya dan seorang yang sayang dengan kaumnya". Ini adalah sebuah isyarat yang jelas bahwa niatan mereka awalnya tidak ingin menyulutkan api fitnah dan perselisihan.
Namun tetap saja ada oknum yang tidak nyaman dengan kondisi ini. Beberapa provokator yang terekam dalam sejarah dan syaikhul islam ibnu Taimiyah dalam majmua fatawanya juga membahas tentang tokoh provokator yang bernama Syamr bin Jusyan atau ada yang memakai redaksi Amir bin Dzi Jusyan mengatakan pada ibnu Ziyad.
" Apakah engkau ingin terima tawaran ini, padahal dia telah memasuki wilayahmu dan sudah berhadapan di hadapanmu ?. Demi Allah, bila dia (Hussen ra) pergi meninggalkan negerimu dalam keadaan tidak meletakkan tangannya di tanganmu (berbaiat), maka dia adalah orang yang lebih berhak untuk mendapatkan kedudukan dan kekuatan, sedangkan engkau adalah orang yang lemah. Jangan kamu berikan kedudukan ini padanya, hendaklah engkau memutuskan sesuai dengan keputusanmu. Bila engkau hukum mereka maka engkaulah penguasanya dan bila engkau mengampuni mereka maka yang demikian itu adalah hakmu ".

Singkatnya Ibnu Ziyad terpengaruh, kita bisa bayangkan pengaruh itu bisa satang dari orang-orang terdekatnya. Mereka berpikir Ibnu Ziyad adalah wakil khalifah artinya institusi negara diwakilkan kepadanya dan jika tawaran itu diterima begitu saja, maka sebenarnya merekalah yang diatur oleh Hussen ra, seharusnya negaralah yang memberikan hukuman, apalagi status Huseen ra dianggap melakukan bughat terhadap khilafah.
Apatah lagi pemerintahan baru Yazid bin Muawiyah tidak ingin dipersepsikan dimata publik menjadi " mengalah " atas gerakan dari seorang pribadi. Walhasil surat balasan Ibnu Ziyad kepada Umar bin Sa'ad pada tanggal 9 Muharram secara tegas meminta Hussen ra dengan dua pilihan : Segera membaiat Yazid bin Muawiyah sekarang atau Perang.

Situasi menjadi panas dikarenakan opsi yang di ultimatum oleh Ibnu Ziyad kepada Husen ra, harus membaiat Yazid bin Muawiyah atau Perang. Sedangkan bisa kita bayangkan bahwa sebenarnya 3 permintaan Hussen ra yang telah kita uraikan mengandung maslahat, adalah wajar jika Hussen ra langsung ingin bertemu dengan Yazid bin Muawiyah untuk membahas & memutuskan masalah yang terjadi diantara mereka.
Apatah lagi dengan posisi beliau sebagai salah satu sahabat Rasulullah saw yang senior saat itu dan sekaligus sebagai  cucu baginda Nabi saw, adalah kurang beretika jika hanya diputuskan dengan setingkat gubernur dan panglima perang. Terhadap Yazid bin Muawiyyah saja tentunya beliau lebih afdhal dikarenakan status tadi,  sedangkan Yazid bin Muawiyah hanyalah putra sahabat Rasulullah saw, bukanlah sahabat.
Namun ini masalah ijtihad politik yang berpandangan bahwa bagaimanapun juga Yazid telah diakui sebagai khalifah & beberapa sahabat senior seperti Ibnu Umar telah mengambil baiat. Sedangkan Hussen ra belumlah dibaiat oleh siapapun, beliau justru menuju Kuffah karena baru ingin dibaiat oleh mayoritas warga Kuffah, itu yang dipahami sebagian besar para penulis sejarah dari sunni. Sehingga upaya Hussen ra dianggap beberapa penulis sebagai delegitimasi khilafah yang resmi kala itu.
Hussen ra tetap bersisikukuh untuk tidak memilih opsi yang ditawarkan oleh Ibnu Ziyad, beliau tetap teguh memegang prinsipnya. Terjadilah situasi tegang di Karbala saat itu dan dikubu Umar bin Saad juga telah dirasuki provokasi untuk memerangi Hussen ra yang sebenarnya tidak mungkin melawan secara militer.
Hussen ra bahkan meminta kepada pengikutnya yang ikut kala itu untuk meninggalkan dirinya di sana, namun mereka tetap ingin bersamanya. Akibatnya pertempuran tak seimbang itupun terjadi atau lebih tepatnya kita sebutkan pembantaian. Dalam situasi terjepit tersebut beliau masih gigih melawan, bahkan beliau syahid terakhir. Dari pihak pasukan Umar bin Saad jatuh korban 48 jiwa dan dari pihak Hussen ra yang selamat hanyalah 2 atau 3 orang saja, seluruh ahlu bait gugur terbunuh dalam perang tersebut tinggal beberapa  wanita dan seorang putra Hussen ra yang bernama Ali bin Hussen ra atau yang lebih di kenala dengan panggilan Ali Zainal Abidin dan beberapa mazhab syiah menjadikannya sebagai satu dari 12 imam Syiah.
Karbala menjadi saksi bisu atas tragedi sejarah yang begitu pahit dalam pentas kehidupan Islam. Darah Hussen ra yang telah tumpah pada akhirnya menjadi titik bangkit dan lahirnya mazhab politik syiah. Darahnya hingga kini selalu menjadi titik peebedaan dan tidak jarang menumpahkan darah-darah berikutnya.